Benah ESG, Kunci Nikel Indonesia Kuasai Pasar Global
Indonesia harus segera meningkatkan standar ESG industri nikel agar tetap kompetitif di pasar global yang semakin ketat dan ramah lingkungan, sekaligus mendorong pasar domestik.

Presiden Prabowo Subianto memiliki ambisi besar menjadikan Indonesia pemain utama rantai pasok kendaraan listrik (EV) dunia. Langkah percepatan hilirisasi nikel dan peningkatan investasi di sektor ini menjadi strategi kunci. Namun, penurunan harga nikel, pergeseran teknologi baterai, dan praktik lingkungan yang buruk di beberapa smelter menimbulkan tantangan besar.
Meskipun investasi di hilirisasi nikel meningkat pesat sejak larangan ekspor bijih nikel diberlakukan, hal ini justru menyebabkan kelebihan pasokan di pasar global. Akibatnya, harga nikel turun drastis, dari rata-rata US$25.000 per ton pada 2022 menjadi sekitar US$16.000 saat ini. Situasi ini diperparah dengan perkembangan teknologi baterai LFP yang tidak membutuhkan nikel, sehingga permintaan nikel global berpotensi menurun.
Dominasi perusahaan China dalam industri nikel Indonesia juga menjadi perhatian. Sebagian besar smelter masih menggunakan PLTU batu bara, yang menghasilkan emisi karbon tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan tren global yang semakin ketat terhadap standar Environmental, Social, Governance (ESG), terutama dari Uni Eropa dengan kebijakan CBAM dan EU Battery Regulation. Minimnya infrastruktur pengisian daya dan insentif yang kurang agresif juga menyebabkan lemahnya pasar domestik untuk EV di Indonesia.
Meningkatkan Standar ESG untuk Daya Saing Global
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Indonesia perlu mengambil langkah cepat dan strategis. Pertama, harmonisasi standar ESG domestik dengan regulasi internasional sangat penting. Pengalaman dengan standar ISPO pada kelapa sawit menunjukkan bahwa standar domestik yang tidak selaras dengan standar global sulit diterima pasar internasional. Oleh karena itu, aspek transparansi dan keterlibatan pemangku kepentingan harus menjadi prioritas.
Kedua, pengembangan teknologi dan inovasi dalam hilirisasi nikel sangat krusial. Indonesia harus meningkatkan kapasitasnya, tidak hanya sebagai pemasok bahan baku, tetapi juga sebagai produsen produk hilir dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Investasi dalam riset dan pengembangan, serta penggunaan energi hijau dalam proses produksi, perlu ditingkatkan.
Ketiga, penguatan pasar domestik menjadi kunci keberhasilan. Pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih agresif untuk mendorong adopsi EV di Indonesia. Pengembangan infrastruktur pengisian daya yang merata dan strategis, terutama di luar Pulau Jawa dan kota-kota besar, juga sangat penting. Saat ini, rasio SPKLU dengan kendaraan listrik masih sangat rendah (1:21).
Tantangan dan Peluang di Masa Depan
Penurunan harga nikel dan pergeseran teknologi baterai menimbulkan kekhawatiran akan masa depan industri nikel Indonesia. Namun, dengan strategi yang tepat, Indonesia masih memiliki peluang untuk menjadi pemain utama di pasar global. Komitmen terhadap standar ESG yang kredibel, investasi dalam inovasi teknologi, dan penguatan pasar domestik merupakan kunci keberhasilan.
Jika Indonesia gagal beradaptasi dengan cepat, negara ini hanya akan menjadi penyuplai bahan mentah murah tanpa kendali atas rantai pasok global. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret dan konsisten untuk memastikan keberlanjutan dan daya saing industri nikel Indonesia di masa depan.
Pemerintah harus mengubah pendekatan dari sekadar hilirisasi menjadi strategi jangka panjang yang mengutamakan keberlanjutan dan daya saing global. Sinergi kebijakan hulu-hilir dan komitmen terhadap standar ESG internasional sangat penting untuk mewujudkan ambisi Indonesia menjadi pusat manufaktur EV dunia. Waktu tidak banyak, Indonesia harus segera bertindak.
*) Al Ayubi adalah Policy Strategist di Yayasan Indonesia Cerah (CERAH). Lulus sebagai Master Ilmu Politik di Universitas Indonesia, Ayubi berfokus pada riset dan advokasi seputar transisi energi dan tata kelola mineral kritis.