Fakta Mengejutkan: 95% Korban Beras Oplosan Tak Punya Struk, PBHI Buka Posko Pengaduan!
PBHI membuka posko pengaduan bagi korban beras oplosan, namun mayoritas tak memiliki struk pembelian. Bagaimana konsumen bisa mendapatkan perlindungan hukum?

Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) telah mengambil langkah proaktif dalam melindungi hak-hak konsumen. Organisasi ini resmi membuka posko pengaduan khusus bagi para korban beras oplosan di Jakarta. Inisiatif ini bertujuan memberikan wadah bagi masyarakat yang merasa dirugikan oleh produk pangan tidak standar.
Posko pengaduan ini telah beroperasi sejak tanggal 14 Juli 2025 dan terus menerima laporan dari berbagai pihak. Konsumen dapat menyampaikan keluhan mereka melalui pusat bantuan, aplikasi WhatsApp di nomor 0895-3855-87159, atau akun Instagram resmi PBHI. Langkah ini diharapkan mempermudah akses bagi korban untuk mencari keadilan.
Sekretaris Jenderal PBHI, Gina Sabrina, menegaskan pentingnya bukti pendukung dalam setiap laporan yang masuk. Struk pembelian dan sampel beras oplosan menjadi syarat utama bagi proses verifikasi. Upaya ini merupakan bagian dari komitmen PBHI dalam mengawal perlindungan konsumen di Indonesia.
Tantangan Pembuktian dan Kualitas Beras Oplosan
Salah satu kendala terbesar yang dihadapi dalam proses pengaduan adalah minimnya bukti struk pembelian. Gina Sabrina mengungkapkan bahwa hampir 95 persen konsumen yang melapor sudah tidak lagi menyimpan struk tersebut. Kondisi ini menyulitkan proses pembuktian dan verifikasi laporan yang masuk ke posko PBHI.
Padahal, struk pembelian merupakan dokumen krusial sebagai bukti sah untuk mengajukan komplain resmi. Tanpa struk, upaya konsumen untuk menuntut pemulihan haknya menjadi sangat terbatas. PBHI menyarankan agar masyarakat selalu menyimpan bukti transaksi saat membeli produk pangan.
Meskipun demikian, beberapa laporan yang berhasil diverifikasi menunjukkan pola masalah yang serupa. Keluhan utama meliputi beras yang cepat basi dan mengalami perubahan warna setelah dimasak. Selain itu, ada dugaan kuat bahwa kuantitas beras yang dijual tidak sesuai dengan berat yang tertera pada kemasan.
Gina Sabrina menambahkan bahwa laporan ini sejalan dengan temuan Kementerian Pertanian. Kementan sebelumnya juga menyatakan bahwa kuantitas beras seringkali dikurangi dan tidak memenuhi standar mutu pemerintah. Hal ini mengindikasikan adanya praktik curang yang merugikan konsumen secara luas.
Peran Pemerintah dan Penegakan Hukum
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Mentan) juga tidak tinggal diam menghadapi maraknya praktik beras oplosan. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengumumkan bahwa Satgas Pangan Polri dan Bareskrim Polri telah melakukan pemeriksaan. Sebanyak 10 dari 212 produsen beras nakal kini sedang dalam proses penyelidikan.
Langkah tegas ini merupakan tindak lanjut dari laporan yang dikirim langsung kepada Kapolri dan Kejaksaan Agung. Laporan tersebut mencakup 212 merek beras yang diduga tidak sesuai standar mutu. Ketidaksesuaian ini meliputi aspek volume, kualitas, hingga kejelasan label produk yang beredar di pasaran.
Upaya kolaboratif antara PBHI dan pemerintah menunjukkan komitmen serius dalam memberantas praktik curang ini. Perlindungan konsumen menjadi prioritas utama agar masyarakat tidak lagi menjadi korban produk pangan yang merugikan. Konsumen diharapkan lebih cermat dalam memilih produk beras.
Meskipun ada tantangan dalam pengumpulan bukti, PBHI tetap mendorong korban untuk melapor. Proses pemulihan, baik secara judisial maupun non-judisial, memerlukan kelengkapan bukti pendukung. Ini adalah langkah penting untuk memastikan praktik curang tidak terulang dan pelaku dapat ditindak tegas.