Hari Buku Sedunia: Membaca, Obat Mujarab untuk Tubuh dan Jiwa
Hari Buku Sedunia mengingatkan kita akan kekuatan membaca sebagai terapi penyembuhan, baik fisik maupun mental, serta pentingnya literasi kesehatan di era modern.

Dunia memperingati Hari Buku Sedunia setiap tanggal 23 April. Peringatan ini bukan hanya sekadar perayaan literasi, tetapi juga pengingat akan potensi penyembuhan yang tersembunyi di balik lembaran-lembaran buku. Membaca terbukti mampu membentuk ulang struktur otak, memperkuat sistem imun, dan menciptakan kondisi mental yang mendukung penyembuhan fisik. Lebih dari sekadar hiburan, membaca berperan sebagai terapi yang efektif bagi kesehatan.
Literasi kesehatan, kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi kesehatan secara efektif, menjadi semakin krusial di era pascapandemi dan perkembangan teknologi. Kemampuan membaca dan memahami informasi kesehatan dapat mencegah kesalahan fatal, seperti yang dialami pasien diabetes tipe 2 di desa terpencil yang tidak mampu membaca label makanan atau memahami petunjuk penggunaan obat. Dalam konteks ini, buku berperan sebagai "nanomedikasi", partikel pengetahuan yang mengubah perilaku dan meningkatkan pengelolaan penyakit.
Secara neurobiologis, membaca melibatkan jaringan kompleks di otak. Aktivitas membaca menstimulasi korteks prefrontal untuk memahami makna dan sistem limbik untuk merespons secara emosional. Bacaan yang positif mengaktifkan sistem reward dopaminergik, menciptakan rasa puas dan tenang. Studi ilmiah, seperti yang diterbitkan di jurnal Neurology, menunjukkan bahwa membaca rutin dapat memperlambat penurunan kognitif dan menunda gejala penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer. Selain itu, membaca juga memengaruhi sistem imun dengan mengurangi produksi hormon stres kortisol dan meningkatkan imunoglobulin A.
Membaca: Terapi Holistik untuk Kesehatan
Terapi biblioterapi, penggunaan buku dalam konteks penyembuhan mental dan fisik, telah menunjukkan hasil signifikan pada pasien kanker dan gangguan autoimun. Studi di Stanford University membuktikan penurunan rasa nyeri, kecemasan, dan depresi, serta peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan pada pasien yang mengikuti program ini. Pentingnya literasi kesehatan juga meluas ke bidang regenerative medicine dan nanoteknologi. Pasien yang memahami proses biologis tubuhnya cenderung lebih patuh dalam menjalani terapi dan lebih kooperatif dalam penelitian klinis.
Ketidaktahuan dapat menyebabkan kecurigaan, hoaks, dan ketakutan. Buku, baik fisik maupun digital, berperan sebagai vaksin terhadap disinformasi. Dalam budaya Jawa, terdapat pepatah "ngelmu iku kelakone kanthi laku", pengetahuan hanya bermakna jika diwujudkan dalam tindakan. Membaca bukan tujuan akhir, melainkan awal dari transformasi. Pepatah Jepang "manabu wa manebu" menekankan pembelajaran melalui pengamatan dan praktik, sementara pepatah Tiongkok "shū zhōng zì yǒu huáng jīn wū" menggambarkan buku sebagai sumber harta intelektual yang tak ternilai.
Buku adalah laboratorium kesadaran, tempat eksperimen mental terjadi. Membaca membantu kita menghadapi trauma, kehilangan, dan ketidakpastian, faktor-faktor yang memicu penyakit kronis. Literasi kesehatan bukan hanya tanggung jawab pasien, tetapi juga tenaga medis, ilmuwan, dan pembuat kebijakan. Pengetahuan harus dikontekstualisasikan dan dipersonalisasi agar mudah dicerna. Di tengah tantangan kesehatan global, membaca menjadi tindakan radikal yang membebaskan.
Ajakan Membaca untuk Kesehatan yang Lebih Baik
Di Hari Buku Sedunia ini, mari kita hadiahkan satu buku kepada diri sendiri. Membaca bukan hanya untuk menikmati cerita, tetapi juga untuk pemulihan, penyembuhan, pertumbuhan, dan transformasi. Setiap halaman yang dibalik menyimpan kemungkinan baru untuk hidup yang lebih sehat, lebih sadar, dan lebih bermakna.
*) Dokter Dito Anurogo, M.Sc., Ph.D., alumnus IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen FKIK Unismuh Makassar, peneliti di Institut Molekul Indonesia.