Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 Naik, Namun Ancaman Tetap Ada
Meskipun Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 meningkat menjadi 60,5, ancaman terhadap jurnalis seperti kriminalisasi dan sensor masih menjadi perhatian serius.

Jakarta, 20 Februari 2024 (ANTARA) - Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 menunjukkan peningkatan, mencapai skor 60,5 atau kategori 'agak terlindungi'. Skor ini meningkat 0,7 poin dibandingkan tahun 2023. Namun, peningkatan ini tidak serta-merta menghilangkan kekhawatiran terhadap keselamatan dan kebebasan pers di Indonesia, khususnya di tengah transisi pemerintahan baru. Peningkatan indeks ini diiringi dengan kekhawatiran yang dirasakan mayoritas jurnalis terhadap masa depan profesi mereka.
Laporan yang dikeluarkan oleh Yayasan TIFA bekerja sama dengan Populix, PPMN, dan HRWG ini, dengan dukungan Kedutaan Besar Belanda, mengungkap fakta bahwa 66 persen jurnalis mengaku lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas jurnalistik. Ancaman kriminalisasi, sensor, dan tekanan dari berbagai pihak menjadi alasan utama peningkatan kewaspadaan tersebut. Survei ini melibatkan 760 jurnalis dan analisis data sekunder dari AJI, memberikan gambaran komprehensif kondisi keselamatan jurnalis di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan tiga pilar utama dalam pengukuran: individu jurnalis, pemangku kepentingan media, serta peran negara dan regulasi. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun terdapat peningkatan indeks, tantangan besar masih ada dalam memastikan kebebasan pers yang lebih aman. Hal ini membutuhkan langkah-langkah strategis dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan media, organisasi jurnalis, dan masyarakat sipil.
Ancaman Terhadap Jurnalis: Pelarangan Liputan dan UU ITE
Natalia Soebagjo dari Dewan Pengawas Yayasan TIFA memaparkan bentuk kekerasan yang diperkirakan meningkat dalam lima tahun mendatang. "Bentuk kekerasan yang diperkirakan meningkat dalam lima tahun mendatang adalah pelarangan liputan sebesar 56 persen dan larangan pemberitaan sebesar 51 persen, dengan aktor utama yang dianggap mengancam adalah organisasi masyarakat sebesar 23 persen dan buzzer sebesar 17 persen," jelasnya. Laporan ini juga mencatat 167 jurnalis mengalami kekerasan dengan total 321 kejadian, di mana pelarangan liputan dan larangan pemberitaan menjadi bentuk kekerasan yang paling dominan.
Lebih lanjut, Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat, menjelaskan bahwa UU ITE dan KUHP masih dianggap sebagai ancaman utama bagi kebebasan pers. Temuan ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah, organisasi media, dan masyarakat sipil untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi jurnalis.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bayu Wardhana, menambahkan bahwa meskipun angka kekerasan menurun, kualitas kekerasan justru meningkat. "Pada 2024 ada jurnalis yang meninggal dunia, padahal tidak terjadi pada 2023 dan 2022. Jadi, meskipun indeks naik, kita tidak bisa hanya melihat angka tanpa memperhatikan kualitas kasus kekerasan yang terjadi," ujar Bayu. Ia juga menekankan bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya fisik, tetapi juga intimidasi dan tekanan ekonomi.
Peran Pemerintah dan Pemangku Kepentingan
Deputi II Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan, Noudhy Valdryno, menegaskan pentingnya peran negara dalam menjamin keselamatan jurnalis. Kantor Komunikasi Kepresidenan mendukung keselamatan jurnalis dan berkomitmen menciptakan lingkungan kondusif bagi kebebasan pers. Kebebasan pers yang sehat, menurutnya, berdampak positif pada pembangunan demokrasi dan stabilitas nasional.
Natalia Soebagjo juga menyoroti peran pemerintah dalam merevisi regulasi yang membatasi kebebasan pers dan memperkuat perlindungan hukum bagi jurnalis. Perusahaan media juga didorong untuk meningkatkan komitmen terhadap keselamatan jurnalis melalui SOP yang jelas, pelatihan, dan dukungan hukum. Sementara itu, organisasi jurnalis dan CSO harus memperkuat advokasi, pendampingan hukum, dan edukasi bagi jurnalis.
Kesimpulannya, peningkatan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 menjadi 60,5 patut disyukuri. Namun, angka ini tidak boleh membuat kita lengah. Ancaman terhadap kebebasan pers masih nyata dan membutuhkan upaya kolektif dari semua pihak untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi jurnalis Indonesia. Upaya ini penting tidak hanya untuk keselamatan jurnalis, tetapi juga untuk kualitas demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.