HPN 2024: Refleksi UU Pers dan Tantangan Kebebasan Pers di Era Digital
Hari Pers Nasional (HPN) 2024 menjadi momentum refleksi UU Pers No. 40 Tahun 1999, yang di tengah perkembangan digital, menghadapi tantangan dalam keberimbangan, perlindungan jurnalis, dan akuntabilitas media.
![HPN 2024: Refleksi UU Pers dan Tantangan Kebebasan Pers di Era Digital](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/09/150044.329-hpn-2024-refleksi-uu-pers-dan-tantangan-kebebasan-pers-di-era-digital-1.jpg)
Jakarta, 9 Februari (ANTARA) - Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini memberikan kesempatan untuk merefleksikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya relevansinya di tengah perkembangan pesat teknologi digital dan dinamika politik terkini. UU Pers, tonggak penting demokrasi Indonesia pasca-reformasi, kini menghadapi tantangan baru.
Relevansi UU Pers di Era Digital
UU Pers, yang lahir dari semangat reformasi, menandai pembebasan pers dari kendala era Orde Baru. Namun, pertanyaan tentang relevansi, keberimbangan, dan manfaatnya bagi kebebasan pers dan demokrasi Indonesia kini muncul. Meskipun revisi UU Pers perlu dipertimbangkan, prosesnya harus hati-hati agar tidak menjadi bumerang. Lukas Luwarso, mantan Sekretaris Eksekutif Dewan Pers, mengingatkan pentingnya Dewan Pers memimpin revisi untuk memastikan UU yang baru melindungi kebebasan pers, bukan menjadi alat kontrol pemerintah.
Salah satu kekuatan utama UU Pers adalah jaminan tegas atas kebebasan pers. Pasal 4 menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi. Tidak ada lagi sensor atau pembredelan, memberikan perlindungan penting bagi kebebasan berekspresi dan akses informasi. Media massa dapat mengkritisi kebijakan pemerintah, mengungkap skandal, dan menyuarakan suara-suara yang terpinggirkan.
Tantangan Implementasi UU Pers
Dewan Pers, sebagai lembaga independen yang bertugas mengembangkan kemerdekaan pers, memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa pers melalui hak jawab dan koreksi. Namun, praktiknya, tidak semua pihak menghormati mekanisme ini. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2023, angka tertinggi dalam 10 tahun terakhir, menunjukkan ancaman serius terhadap kebebasan pers.
Banyak jurnalis dipidanakan dengan pasal di luar UU Pers, seperti pasal pencemaran nama baik dalam KUHP atau UU ITE. Mella Ismelina Farma Rahayu (2005) dalam kajiannya menekankan bahwa idealnya, di negara demokrasi, jurnalis hanya dikenai sanksi denda, bukan penjara, untuk karya jurnalistik. Sanksi denda pun harus proporsional.
Akuntabilitas dan profesionalisme media juga menjadi persoalan. UU Pers mensyaratkan perusahaan pers berbadan hukum dan menerapkan Kode Etik Jurnalistik, namun pengawasan kurang efektif. Munculnya media daring tanpa standar profesional jelas, clickbait, hoaks, dan berita sensasional, menunjukkan UU Pers belum cukup responsif terhadap dinamika ini.
Peran Platform Digital dan Perlindungan Jurnalis
UU Pers cenderung terfokus pada media arus utama dan kurang memperhatikan media digital dan jurnalisme warga. Maraknya media sosial dan platform daring mengaburkan batas antara jurnalis profesional dan warga biasa. Tanggung jawab platform digital dalam penyebaran berita palsu dan regulasi bagi jurnalisme warga menjadi tantangan baru.
UU Pers memberikan dasar perlindungan jurnalis, tetapi belum sepenuhnya efektif melindungi mereka dari ancaman fisik, intimidasi, atau kekerasan saat bertugas. Kasus kekerasan terhadap jurnalis masih sering terjadi, terutama saat meliput isu sensitif. Aparat penegak hukum pun terkadang terlibat intimidasi. Ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dalam UU Pers tidak cukup tanpa komitmen politik dan budaya hukum yang mendukung.
Independensi Media dan Transparansi Kepemilikan
UU Pers mendorong kemerdekaan pers dari intervensi pemerintah, tetapi belum cukup memperhatikan pengaruh pemilik modal terhadap independensi redaksi. Banyak media besar dimiliki konglomerasi dengan kepentingan politik atau bisnis tertentu, mengakibatkan pemberitaan bias atau menjadi alat propaganda. Transparansi kepemilikan media dan regulasi yang mengatur konsentrasi kepemilikan media sangat diperlukan.
Penyempurnaan UU Pers untuk Masa Depan
UU Pers perlu diharmonisasi dengan UU lain, seperti KUHP dan UU ITE, agar jurnalis tidak dikriminalisasi. Penyelesaian sengketa pers harus sepenuhnya menjadi domain Dewan Pers. UU Pers juga perlu mengatur dinamika media digital dan jurnalisme warga, memberikan kerangka etika yang jelas dan mendorong literasi media. Platform digital harus bertanggung jawab atas penyebaran berita palsu. Perlindungan terhadap jurnalis harus diperkuat, dan transparansi kepemilikan media harus diatur ketat.
UU Pers harus menjadi fondasi demokrasi yang sehat. Pers yang bebas, bertanggung jawab, dan profesional adalah pilar penting demokrasi. Dengan menyempurnakan UU Pers secara tepat, kita tidak hanya menjaga kebebasan pers, tetapi juga memperkuat demokrasi, meningkatkan kualitas kehidupan berdemokrasi, memperkuat partisipasi warga negara, menjamin hak asasi manusia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.