Hari Pers Nasional: Refleksi Relevansi UU Pers di Era Digital
Hari Pers Nasional (HPN) menjadi momentum refleksi terhadap Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, terutama dalam konteks tantangan era digital dan dinamika politik terkini yang menguji jaminan kebebasan pers dan perlindungan jurnalis.
![Hari Pers Nasional: Refleksi Relevansi UU Pers di Era Digital](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/11/000133.894-hari-pers-nasional-refleksi-relevansi-uu-pers-di-era-digital-1.jpg)
Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap tanggal 9 Februari menjadi momen penting untuk merefleksikan perjalanan pers Indonesia, khususnya relevansi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di tengah arus informasi digital dan dinamika politik saat ini. UU Pers, yang lahir di era reformasi, menjadi tonggak sejarah kebebasan pers di Indonesia, membebaskan jurnalisme dari berbagai kendala di masa Orde Baru.
UU Pers: Antara Kebebasan dan Tantangan
UU Pers menjamin kebebasan pers sebagai hak asasi warga negara. Pasal 4 UU Pers secara tegas menjamin hal ini, menghapus praktik sensor dan penutupan media yang pernah terjadi sebelumnya. Kebebasan ini memungkinkan media melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah, mengungkap skandal, dan memperkuat suara-suara marjinal. Namun, di balik jaminan kebebasan ini, tantangan baru muncul. Salah satu isu krusial adalah perlindungan jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang tahun 2023, angka tertinggi dalam satu dekade terakhir. Ini menjadi peringatan serius atas masa depan kebebasan pers di Indonesia.
Selain itu, terdapat kasus-kasus di mana jurnalis dijerat pasal di luar UU Pers, seperti pasal pencemaran nama baik dalam KUHP atau UU ITE. Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan implementasi hukum yang dapat membahayakan kebebasan pers. Mella Ismelina Farma Rahayu dalam penelitiannya (2005) menekankan idealnya di negara demokratis, kerja jurnalistik tidak seharusnya berujung pada hukuman penjara, melainkan denda yang proporsional.
Peran Dewan Pers dan Akurasi Informasi
UU Pers menempatkan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang berperan dalam mendorong kebebasan pers dan meningkatkan kualitas pers nasional. Dewan Pers memiliki wewenang menyelesaikan sengketa pers melalui mekanisme hak jawab dan hak koreksi. Namun, dalam praktiknya, tidak semua pihak mematuhi mekanisme ini. Munculnya media online yang tak memiliki standar profesionalitas yang jelas juga menjadi tantangan. Fenomena clickbait, penyebaran hoaks, dan berita sensasional menjadi hal biasa. UU Pers dinilai belum cukup mengatasi dinamika ini.
Tantangan di Era Digital
UU Pers cenderung fokus pada media arus utama, mengabaikan perkembangan media digital dan jurnalisme warga. Saat UU ini disusun, internet dan platform digital belum menjadi bagian integral kehidupan di Indonesia. Kini, dengan munculnya media sosial dan platform online, garis antara jurnalis profesional dan warga biasa menjadi kabur. Siapa pun dapat menjadi sumber informasi, tetapi tidak semua memahami etika jurnalistik. Ini menghadirkan tantangan baru yang tidak tercakup dalam UU Pers saat ini.
Perlindungan terhadap jurnalis juga menjadi perhatian. UU Pers memberikan dasar yang kuat, tetapi belum sepenuhnya efektif melindungi pekerja media dari ancaman fisik, intimidasi, atau kekerasan saat menjalankan tugas. Kemerdekaan media juga menjadi perhatian. UU Pers mendorong kebebasan pers dari intervensi pemerintah, tetapi belum sepenuhnya mengatasi dampak pemilik modal terhadap kemerdekaan redaksi.
Perlunya Harmonisasi dan Penguatan UU Pers
Ke depan, diperlukan harmonisasi regulasi antara UU Pers dengan UU lain, seperti KUHP dan UU ITE, untuk mencegah kriminalisasi jurnalis. Penyelesaian sengketa pers harus tetap berada di bawah wewenang Dewan Pers, tanpa intervensi pidana, kecuali dalam kasus-kasus spesifik seperti pencemaran nama baik atau ujaran kebencian yang jelas melanggar hukum. UU Pers juga perlu memperluas cakupannya untuk mengatasi dinamika media digital dan jurnalisme warga. Ini bukan berarti membatasi kebebasan berekspresi di internet, melainkan memberikan kerangka etika yang jelas dan mendorong literasi media di masyarakat.
Platform digital, seperti media sosial, juga perlu dilibatkan dalam pengawasan dan bertanggung jawab atas penyebaran berita bohong tanpa mengorbankan prinsip kebebasan informasi. Perlindungan terhadap jurnalis harus diperkuat dengan mekanisme yang lebih jelas dan efektif. Negara harus memastikan keselamatan jurnalis sebagai bagian dari komitmennya terhadap kebebasan pers. UU Pers harus dilihat bukan hanya sebagai alat hukum, tetapi sebagai fondasi kehidupan demokrasi yang sehat. Tanpa pers yang kuat, masyarakat dapat kehilangan salah satu instrumen kunci untuk mengawasi kekuasaan dan memperjuangkan kebenaran.