HPN 2024: Refleksi UU Pers dan Tantangan Kebebasan Pers di Era Digital
Hari Pers Nasional (HPN) 2024 menjadi momentum refleksi UU Pers No. 40 Tahun 1999, menguak tantangan kebebasan pers di tengah arus digital dan perlunya penyempurnaan UU untuk melindungi jurnalis dan menjamin informasi akurat.
HPN 2024: Refleksi UU Pers dan Tantangan Kebebasan Pers di Era Digital
Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini, di tengah perkembangan teknologi digital dan dinamika politik terkini, menghadirkan refleksi mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU ini, yang lahir di era reformasi, menjadi simbol pembebasan pers dari berbagai pembatasan di masa lalu. Namun, relevansi dan efektivitasnya di era digital kini dipertanyakan.
Relevansi UU Pers di Era Digital
UU Pers telah memberikan jaminan kebebasan pers yang kuat, di mana kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi. Pasal 4 UU Pers menegaskan hal ini, menghapus praktik sensor dan pembredelan yang pernah membatasi jurnalisme kritis. UU ini melindungi kebebasan berekspresi dan akses informasi publik, memungkinkan media mengkritisi kebijakan pemerintah dan menyuarakan aspirasi masyarakat.
Namun, implementasi UU Pers menghadapi tantangan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat peningkatan kasus serangan terhadap jurnalis pada tahun 2023, mencapai angka tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Banyak jurnalis dikriminalisasi dengan pasal di luar UU Pers, seperti pasal pencemaran nama baik di KUHP atau UU ITE. Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan dalam implementasi hukum yang merugikan kebebasan pers.
Mella Ismelina Farma Rahayu (2005) dalam kajiannya, menyarankan sanksi denda yang proporsional sebagai pengganti pidana penjara bagi jurnalis dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan pers. Sistem ini lebih sejalan dengan prinsip kebebasan berekspresi dan mempertimbangkan kemampuan finansial perusahaan pers.
Tantangan Profesionalisme dan Akuntabilitas Media
UU Pers juga mengatur akuntabilitas dan profesionalisme media, mewajibkan perusahaan pers berbadan hukum dan menerapkan Kode Etik Jurnalistik. Namun, pengawasan yang efektif masih kurang. Munculnya media daring tanpa standar profesional yang jelas menyebabkan maraknya clickbait, hoaks, dan berita sensasional. UU Pers belum memiliki mekanisme yang efektif untuk menindak penyebaran disinformasi tanpa mengorbankan kebebasan pers.
UU Pers juga belum sepenuhnya mengakomodasi perkembangan media digital dan jurnalisme warga. Di era media sosial dan platform daring, batas antara jurnalis profesional dan warga biasa menjadi kabur. Setiap orang dapat menyebarkan informasi, namun tidak semua memahami etika jurnalistik. Ini menghadirkan tantangan baru terkait tanggung jawab platform digital dalam penyebaran berita palsu dan regulasi bagi jurnalisme warga.
Perlindungan Jurnalis dan Independensi Media
UU Pers memberikan dasar perlindungan bagi jurnalis, namun belum sepenuhnya efektif dalam melindungi mereka dari ancaman fisik, intimidasi, atau kekerasan saat menjalankan tugas. Kasus kekerasan terhadap jurnalis masih sering terjadi, terutama saat meliput isu sensitif. Seringkali, aparat penegak hukum terlibat dalam intimidasi, menunjukkan bahwa perlindungan hukum saja tidak cukup tanpa komitmen politik dan budaya hukum yang mendukung.
Independensi media juga menjadi perhatian. UU Pers mendorong kemerdekaan pers dari intervensi pemerintah, namun belum sepenuhnya mengatasi pengaruh pemilik modal terhadap redaksi. Kepemilikan media oleh konglomerasi dapat menyebabkan bias dan memanipulasi informasi. Transparansi kepemilikan media dan regulasi yang mengatur konsentrasi kepemilikan media perlu diperkuat.
Arah Penyempurnaan UU Pers
Untuk meningkatkan relevansi UU Pers, perlu dilakukan harmonisasi regulasi antara UU Pers dengan UU lain, seperti KUHP dan UU ITE, agar jurnalis tidak dikriminalisasi dengan pasal karet. Penyelesaian sengketa pers harus sepenuhnya menjadi domain Dewan Pers. UU Pers juga perlu mengatur dinamika media digital dan jurnalisme warga, memberikan kerangka etika yang jelas dan mendorong literasi media.
Platform digital perlu bertanggung jawab atas penyebaran berita palsu. Perlindungan terhadap jurnalis harus diperkuat dengan mekanisme yang lebih efektif. Transparansi kepemilikan media harus diatur ketat untuk mencegah konsentrasi kepemilikan yang dapat merusak pluralisme informasi dan mengancam independensi redaksi. UU Pers harus menjadi fondasi bagi kehidupan demokrasi yang sehat, dengan pers yang bebas, bertanggung jawab, dan profesional sebagai pilar pentingnya.
Penyempurnaan UU Pers bukan hanya untuk menjaga kebebasan pers, tetapi juga untuk memperkuat demokrasi, meningkatkan kualitas kehidupan berdemokrasi, memperkuat partisipasi warga negara, menjamin hak asasi manusia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.