RUU Penyiaran: Atasi Kekosongan Hukum di Era Digital
Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono, mendorong revisi RUU Penyiaran untuk menutup celah hukum di era digital yang pesat, khususnya terkait platform OTT dan media sosial.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menekankan pentingnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. RUU ini dinilai krusial untuk mengatasi berbagai kekosongan hukum di sektor penyiaran, khususnya dalam konteks perkembangan teknologi digital yang pesat. Pernyataan ini disampaikan dalam wawancara khusus di ANTARA Heritage Center, Jakarta, Rabu (26/3).
Berbagai isu terkait layanan video on demand, platform streaming, media sosial, dan pengelolaan frekuensi menjadi fokus utama. Menurut Dave Laksono, pembahasan RUU harus dimulai dari awal karena teknologi terus berkembang dengan cepat, sehingga aturan yang ada perlu disesuaikan dengan dinamika terkini. Ia mencontohkan permasalahan konten yang tidak sesuai untuk anak di bawah umur yang mudah diakses melalui platform digital.
"Ini harus ada konsepnya, karena seperti ini, kita langganan tv on demand, kalau usia dewasa nggak masalah karena biasa. Tapi ada yang belum cocok untuk anak di bawah umur, karena ada yang vulgar," ungkap Dave Laksono.
Regulasi Platform Digital: Antara Sensor dan Kebebasan
RUU Penyiaran ini akan mengatur berbagai hal penting, termasuk definisi layanan video on demand dan layanan over the top (OTT). Salah satu tantangan utama adalah bagaimana menyeimbangkan sensor konten dengan perkembangan ekosistem digital. Saat ini, sensor ketat diterapkan pada televisi konvensional, namun hal tersebut belum sepenuhnya berlaku pada platform digital seperti YouTube.
Penerapan aturan pembatasan yang sama seperti televisi konvensional pada platform digital dikhawatirkan akan menghambat perkembangannya. Oleh karena itu, diperlukan penyamaan visi antara berbagai pihak terkait untuk menemukan solusi yang tepat. Hal ini membutuhkan pertimbangan matang agar regulasi yang dihasilkan dapat mengakomodasi perkembangan teknologi tanpa mengorbankan aspek-aspek penting lainnya.
RUU Penyiaran ini merupakan RUU operan atau carry over dari periode sebelumnya. Meskipun beberapa bahan pembahasan dapat digunakan kembali, perkembangan teknologi yang sangat pesat menuntut penyesuaian substansial dalam isi RUU tersebut. Dave Laksono menekankan pentingnya merumuskan undang-undang yang dapat bertahan dan relevan selama 30-40 tahun ke depan.
"Kita harus berpikir bahwa undang-undang ini bisa berlaku 30-40 tahun ke depan, memang kita tidak bisa meramal, tapi kita bisa memprediksi," tambahnya.
Mencari Keseimbangan: Perlindungan Masyarakat dan Kemajuan Industri
RUU Penyiaran yang sedang disusun bertujuan untuk memberikan ruang bagi pelaku industri dan masyarakat untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam hal pengawasan konten di platform digital. Konten negatif seperti penghinaan terhadap kepala negara, pelecehan seksual, dan iklan judi online yang beredar di platform seperti YouTube menjadi perhatian serius.
Komisi I DPR RI berkomitmen untuk merumuskan RUU yang mampu melindungi masyarakat dari konten-konten negatif tanpa menghambat perkembangan industri digital. Proses penyusunan RUU ini diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang komprehensif, adil, dan mampu menjawab tantangan di era digital yang dinamis. Hal ini membutuhkan kolaborasi dan dialog yang intensif antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan.
RUU Penyiaran ini diharapkan dapat menjadi payung hukum yang kuat dan komprehensif dalam mengatur penyiaran di Indonesia, baik di media konvensional maupun digital. Dengan demikian, sektor penyiaran dapat berkembang secara sehat dan bertanggung jawab, serta memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
"YouTube itu beberapa kali dikeluhkan karena menampilkan konten yang menghina kepala negara, pelecehan seksual, sampai iklan judi online. Ini semua harus menjadi catatan juga," tegas Dave Laksono.