RUU Penyiaran: Lindungi Media Nasional di Era Digital
Anggota DPR, Amelia Anggraini, menjelaskan RUU Penyiaran dirancang adaptif terhadap teknologi digital namun tetap melindungi media nasional dari dominasi platform asing.

Anggota Komisi I DPR RI, Amelia Anggraini, menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bertujuan untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital yang pesat, sekaligus melindungi ekosistem media nasional. Perubahan ini dipicu oleh dominasi platform digital seperti YouTube dan TikTok dalam distribusi konten kepada publik.
Perubahan lanskap penyiaran nasional ini menjadi perhatian utama. Amelia Anggraini menekankan bahwa dominasi platform digital belum diimbangi dengan tanggung jawab yang sepadan terhadap keberagaman konten dan keberlangsungan media dalam negeri. Hal ini diungkapkan beliau saat rapat Panitia Kerja RUU Penyiaran di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (5/5).
Dalam merumuskan RUU ini, Komisi I DPR RI telah melibatkan berbagai lembaga profesi pers, termasuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), untuk menyerap aspirasi dan masukan yang krusial.
Menyeimbangkan Dominasi Digital dan Media Nasional
Amelia Anggraini mengungkapkan kekhawatiran akan dampak negatif dominasi platform digital terhadap daya saing media nasional. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dan saran dari PWI dan AJI sangat penting untuk dipertimbangkan dalam RUU Penyiaran. Integrasi masukan dari para pelaku media diharapkan dapat menciptakan regulasi yang seimbang dan berkelanjutan.
Lebih lanjut, beliau menekankan perlunya sinkronisasi antara Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Publisher Rights dan RUU Penyiaran. Sinkronisasi ini bertujuan untuk melindungi hak ekonomi media, baik dari segi kepemilikan konten, distribusi, maupun monetisasi. Dengan demikian, media nasional dapat bersaing secara sehat di tengah persaingan platform digital.
RUU Penyiaran juga diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi anak-anak melalui klasifikasi dan batasan konten yang jelas pada platform over the top (OTT) video streaming. Namun, regulasi ini harus dirancang agar tidak menghambat model bisnis dan kreativitas industri kreatif.
Regulasi Ideal untuk Perlindungan Publik dan Industri OTT
Amelia Anggraini juga menyoroti pentingnya regulasi yang ideal dalam RUU Penyiaran. Regulasi ini harus mampu melindungi publik, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi industri OTT Video Streaming. Industri ini, yang diwakili oleh AVISI (Asosiasi Video Streaming Indonesia), telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan industri kreatif nasional dan diplomasi budaya, termasuk melalui penyebaran konten lokal ke audiens global.
Regulasi yang akan dibentuk harus mempertimbangkan aturan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik (SE) dan regulasi digital lainnya yang sudah ada. Dengan demikian, diharapkan tercipta suatu ekosistem digital yang sehat dan berkelanjutan, yang melindungi baik kepentingan publik maupun industri kreatif nasional.
RUU Penyiaran ini diharapkan dapat menjadi payung hukum yang komprehensif dan adaptif dalam menghadapi perkembangan teknologi digital yang dinamis. Regulasi yang bijak dan berimbang sangat penting untuk memastikan keberlangsungan media nasional dan perlindungan publik di era digital.
Melalui RUU ini, pemerintah berupaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan industri penyiaran di Indonesia, baik media konvensional maupun digital, dengan tetap memperhatikan aspek perlindungan publik dan keberagaman konten.