Isra Mikraj: Perjalanan Spiritual Menuju Makna Kehidupan
Artikel ini mengupas makna Isra Mikraj, perjalanan Nabi Muhammad SAW, sebagai sebuah laku spiritual yang relevan bagi pencarian manusia akan makna hidup dan hubungannya dengan Tuhan.

Peristiwa Isra Mikraj, perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa lalu naik ke langit ketujuh, telah berulang kali dikisahkan dengan berbagai tafsir. Lebih dari sekadar mukjizat, kisah ini menyimpan makna spiritual yang mendalam dan relevan hingga kini.
Ustadz Dr. KH Khoirul Huda Basyir, Lc., M.Si., dalam kajiannya menyebut Isra Mikraj sebagai perjalanan spiritual yang didambakan para pengamal tasawuf dan umat Islam untuk mencapai ridha dan ma’rifat Allah. Perjalanan ini, sebenarnya, merefleksikan pencarian makna kehidupan yang terus berulang dalam diri setiap manusia.
Perjalanan dimulai dalam kegelapan dan keheningan— sebuah metafora bagi ruang perenungan batiniah. Kegelapan di sini bukan sekadar absennya cahaya, melainkan ruang kosong yang memungkinkan pencerahan. Nabi Muhammad SAW dijemput Buraq, makhluk bercahaya yang melambangkan jiwa manusia yang mencari cahaya di tengah kegelapan hidup.
Setiap perjalanan spiritual berawal dari kegelapan, kebingungan, dan ketidakpastian. Isra Mikraj pun bukan hanya kisah Nabi Muhammad SAW, tetapi juga tentang manusia dan pencarian jati dirinya. Setiap individu memiliki 'Buraq' masing-masing; ilmu, kebijaksanaan, atau pengalaman yang membimbing menuju pemahaman lebih tinggi.
Masjidil Aqsa dan Pertemuan Para Nabi
Sebelum naik ke langit, Nabi Muhammad SAW singgah di Masjidil Aqsa, tempat berkumpulnya para nabi. Ini simbol bahwa perjalanan menuju kebenaran terhubung dengan sejarah dan jejak-jejak kebenaran sebelumnya. Puncak perjalanan adalah pertemuan dengan Tuhan di Sidratul Muntaha, momen puncak pencarian manusia akan kebenaran hakiki yang melampaui logika.
Setiap insan mendambakan pemenuhan dan jawaban atas pertanyaan eksistensial. Jawaban itu seringkali bukan berupa kata-kata, melainkan kesadaran akan sesuatu yang jauh lebih besar dari akal manusia. Isra Mikraj mengajarkan kita untuk menembus batas diri dan keterbatasan pandangan.
Langit-Langit Kesadaran
Tujuh langit yang dilalui Nabi Muhammad SAW melambangkan tahapan kesadaran. Manusia sering terjebak ego dan keterikatan duniawi. Naik ke langit adalah proses melepaskan keterikatan hingga mencapai kesadaran murni akan Tuhan. Perintah salat kemudian menjadi inti dari perjalanan ini.
Salat: Kembalinya Perjalanan Spiritual ke Bumi
Perintah salat yang diterima Nabi Muhammad SAW di Sidratul Muntaha menunjukkan perjalanan spiritual tak berhenti pada pengalaman mistis. Ia harus membumi dan berwujud nyata. Salat bukan sekadar ritual, melainkan jalan untuk mengalami Isra Mikraj pribadi. Setiap salat adalah perjalanan batin, meninggalkan hiruk pikuk dunia untuk bertemu Tuhan dan diri sendiri.
Isra Mikraj mengandung paradoks indah: perjalanan melampaui ruang dan waktu, namun berujung pada hal yang sangat membumi dan terulang setiap hari— salat. Salat menjadi jejak perjalanan, kesempatan mengalami kebersamaan dengan Tuhan tanpa menunggu mukjizat besar.
Di dunia yang serba cepat dan bising, Isra Mikraj mengingatkan pentingnya perjalanan ke dalam diri. Menemukan cahaya batiniah sebelum mencari cahaya di luar, memahami diri sendiri sebelum menaklukkan dunia. Perjalanan spiritual diukur dari kedalaman pengalaman, bukan waktu. Yang terpenting bukan langit ketujuh, melainkan hati manusia yang senantiasa mencari.
Isra Mikraj bukan sekadar kisah sejarah, tetapi kisah yang berulang dalam setiap jiwa yang rindu akan Tuhan. Ia berisi petunjuk bagi siapapun yang ingin memahami makna hidup yang lebih dalam. Setiap manusia adalah musafir dalam perjalanan panjang menuju Sang Khalik.