Kabinet Miliarder Trump: Risiko Krisis Ekonomi Berulang?
Robert Reich mengkritik kabinet Trump yang didominasi miliarder, karena berpotensi memicu konflik kepentingan dan kebijakan deregulasi yang berisiko krisis ekonomi seperti Depresi Besar 1929 dan krisis 2008.
Kekhawatiran soal Kabinet Miliarder Trump
Mantan Menteri Tenaga Kerja AS, Robert Reich, menyoroti dominasi miliarder dalam kabinet pemerintahan Donald Trump. Reich, lewat kanal YouTube-nya, memperingatkan potensi bahaya dari kabinet yang disebutnya sebagai 'pemerintahan oleh miliarder, dari miliarder, untuk miliarder'. Ia mencatat setidaknya 13 miliarder menduduki posisi penting, menjadikan kabinet Trump sebagai yang terkaya dalam sejarah AS.
Mengapa Kabinet yang Kaya Berisiko?
Kekayaan para menteri bukanlah masalah utama, tetapi potensi konflik kepentingan menjadi perhatian serius. Reich menekankan bahwa kekayaan miliaran dolar dari calon-calon menteri, belum termasuk kekayaan penasihat seperti Elon Musk, menimbulkan kekhawatiran besar. Sejarah mencatat, kabinet AS pernah diisi oleh orang-orang dari berbagai latar belakang ekonomi. Namun, kabinet Trump menonjol karena jumlah miliardernya yang sangat banyak.
Pelajaran dari Masa Lalu: Depresi Besar dan Krisis 2008
Analisis sejarah menunjukkan korelasi antara kabinet yang kaya dan kebijakan ekonomi yang memicu krisis. Depresi Besar 1929 dan Krisis Finansial 2008 menjadi contoh nyata. Kedua krisis tersebut, meskipun berbeda konteksnya, memiliki kesamaan: kebijakan deregulasi dan pendekatan pasar bebas yang ekstrem. Kebijakan ini, pada akhirnya, menyebabkan ketidakstabilan keuangan yang parah.
Hubungan antara Miliarder dan Kebijakan Deregulasi
Miliarder dalam kabinet, seringkali berasal dari sektor keuangan, manajemen perusahaan, dan perbankan investasi. Mereka cenderung mendukung kebijakan yang menguntungkan mereka, seperti efisiensi pasar, pengurangan intervensi pemerintah, dan pengurangan pajak bagi kalangan atas—semua merupakan prinsip utama neoliberalisme. Hal ini menyebabkan dorongan kebijakan deregulasi, privatisasi, dan pasar bebas.
Contoh Kebijakan Deregulasi dan Dampaknya
Pemerintahan Reagan (1981-1989) menerapkan pemotongan pajak besar-besaran dan deregulasi di sektor penerbangan dan telekomunikasi. Pemerintahan Clinton (1993-2001) mencabut UU Glass-Steagall, yang memisahkan perbankan komersial dan investasi. Sementara pemerintahan George W. Bush (2001-2009) juga menerapkan pemotongan pajak bagi orang kaya dan deregulasi keuangan, yang berkontribusi pada Krisis 2008. Krisis 2008 diperburuk oleh UU Modernisasi Berjangka Komoditi 2000 yang menderegulasi pasar derivatif.
Faktor Kunci Krisis 2008
Deregulasi industri keuangan, penciptaan dan perdagangan sekuritas berbasis hipotek yang kompleks, dan kewajiban utang yang dijaminkan (CDO), serta credit default swaps (CDS) memperburuk krisis. Semua ini didasarkan pada keyakinan akan efisiensi pasar dan gagasan bahwa pasar dapat mengatur diri sendiri. Akibatnya, praktik keuangan berisiko meluas, seperti subprime mortgage dan leverage yang berlebihan, memicu housing bubble dan krisis 2008.
Krisis 1929: Pasar yang Mengatur Sendiri
Depresi Besar 1929 juga dipicu oleh regulasi minimal terhadap pasar saham dan lembaga keuangan. Gagasan pasar yang mengatur diri sendiri memicu spekulasi yang merajalela. Pembelian saham dengan margin memperbesar risiko. Ketika harga saham turun, kehancuran finansial meluas. Presiden Hoover, pendukung kebijakan pembatasan peran pemerintah, menerapkan pemotongan pajak bagi orang kaya dan mengurangi pengeluaran pemerintah, memperparah ketimpangan dan dampak krisis.
Kesimpulan: Sejarah Berulang?
Meskipun tidak pasti kabinet Trump akan memicu krisis, pola sejarah menunjukkan korelasi antara kabinet yang kaya dan kebijakan deregulasi yang berisiko. Krisis keuangan besar seringkali dipicu oleh keyakinan bahwa pasar dapat mengatur diri sendiri tanpa pengawasan pemerintah. Sejarah, seperti pepatah Prancis 'L’histoire se répète toujours', seringkali berulang.