Kisah Hanafi, Perawat Warisan Intelektual Sukarno di Ende: Toleransi dan Lahirnya Pancasila
Bruder Hanafi, saksi hidup pergulatan intelektual Sukarno di Ende, merawat warisan sejarah dan toleransi lintas agama yang menginspirasi lahirnya Pancasila.

Di Ende, Nusa Tenggara Timur, Bruder Hanafi Yoseph (65) dengan mata yang baru saja dioperasi katarak, menyambut hangat kedatangan para tamu. Ia menunda pengobatan matanya demi berbagi kisah tentang perannya merawat warisan intelektual Presiden Sukarno dan para pastor Belanda di Biara Santo Yosef, yang kini dikenal sebagai Serambi Soekarno. Kisah ini bermula pada masa pengasingan Sukarno di Ende (1934-1938), di mana interaksi mendalam dengan Pastor Geradus Huijtink dan Pastor Johannes Bouma dari Serikat Sabda Allah (SVD) dipercaya turut membentuk pemikiran Sukarno yang berujung pada rumusan Pancasila.
Hanafi, yang juga dikenal sebagai Bruder Simplisius, menjelaskan bagaimana para misionaris SVD, yang telah hadir di Indonesia sejak 1913, berperan penting dalam kehidupan intelektual dan spiritual Sukarno. Sukarno, yang dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda karena perjuangan kemerdekaannya yang radikal, diasingkan ke Ende. Di sana, ia menemukan teman diskusi dalam diri para pastor SVD, yang memberikan akses ke perpustakaan biara yang kaya akan buku filsafat, politik, dan teologi.
Diskusi-diskusi tersebut, yang berlangsung di serambi biara dan di bawah pohon sukun di tepi pantai Kotaraja, diyakini telah memberikan kontribusi signifikan pada perumusan Pancasila. Meskipun tidak ada catatan tertulis yang otentik, Hanafi menyebutkan adanya risalah-risalah terkait di Seminari Tinggi Redalero dan arsip KITLV di Leiden, Belanda. Ia menekankan peran Pastor Huijtink dan Pastor Bouma dalam memperluas wawasan Sukarno tentang nilai-nilai universal dan keberagaman, yang akhirnya mendorong Sukarno untuk merumuskan dasar negara yang inklusif.
Peran Pastor SVD dalam Pergulatan Intelektual Sukarno
Pastor Geradus Huijtink, yang sering disebut sebagai teman diskusi Sukarno, memberikan akses ke perpustakaan biara, memperkaya wawasan Sukarno tentang nilai-nilai universal dan keberagaman. Pastor Johannes Bouma, pemimpin Provinsi SVD Ende, juga turut berperan dengan memberikan akses penuh ke perpustakaan biara. Kedua pastor ini, meskipun berasal dari Belanda, memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintah kolonial, mendukung semangat kemerdekaan Indonesia.
Hanafi menjelaskan bahwa diskusi-diskusi antara Sukarno dan para pastor tidak hanya membahas filsafat dan teologi, tetapi juga menyentuh isu-isu politik dan kemerdekaan Indonesia. Pertanyaan Huijtink kepada Sukarno tentang tempat bagi pemeluk agama lain dalam desain negara yang diusulkan Sukarno, mendorong Sukarno untuk merumuskan dasar negara yang lebih inklusif dan mengakomodasi keberagaman agama di Indonesia.
Meskipun bukti tertulis terbatas, Hanafi meyakini bahwa interaksi antara Sukarno dan para pastor SVD di Ende memiliki pengaruh besar dalam perumusan Pancasila. Ia menggarisbawahi bahwa hasil diskusi, ditambah dengan refleksi Sukarno di pantai Kotaraja, menjadi ‘ramuan’ yang kemudian dituangkan dalam pidato 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI.
Hanafi menambahkan bahwa, "Bayangkan bagaimana aura Sukarno, ia sampai dipanggil Mr. President di sini, betapa tidak, negara-negara cuma negara dan kemerdekaan ini yang diucapkannya." Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh dan kharisma Sukarno di Ende.
Serambi Soekarno: Memelihara Warisan Sejarah dan Toleransi
Biara Santo Yosef, tempat berlangsungnya pergulatan intelektual Sukarno, kini telah disulap menjadi Serambi Soekarno, sebuah situs wisata sejarah yang diresmikan pada 14 Januari 2019. Situs ini dilengkapi dengan pojok baca, lukisan yang menggambarkan momen-momen diskusi Sukarno dengan para pastor, dan naskah ke-12 tonil ciptaan Sukarno.
Serambi Soekarno menjadi pusat pembelajaran bagi generasi muda tentang nilai-nilai persatuan dan toleransi. Situs ini juga rutin mengadakan seminar dan diskusi, yang menghadirkan peserta dari berbagai daerah, bahkan mancanegara. Hal ini menunjukkan komitmen Biara Santo Yosef untuk merawat warisan sejarah dan memperkuat nilai-nilai toleransi lintas agama.
Kehadiran Serambi Soekarno juga menjadi bukti nyata dari hubungan harmonis antara umat Katolik dan Muslim di Ende. Hanafi menceritakan bahwa Biara Santo Yosef aktif mengirimkan anggota untuk menjadi guru di pondok pesantren, menunjukkan komitmen nyata dalam membangun jembatan antarumat beragama.
Kerja sama lintas agama di Ende juga terwujud melalui berbagai kegiatan bersama, seperti perayaan hari besar keagamaan dan program sosial. Toleransi di Ende bukan hanya sekadar slogan, tetapi sebuah kenyataan yang hidup dan terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Kisah Hanafi dan Serambi Soekarno menjadi bukti nyata bagaimana warisan sejarah dapat dipelihara dan diwariskan kepada generasi mendatang. Lebih dari itu, kisah ini juga memperlihatkan pentingnya toleransi dan kerja sama antarumat beragama dalam membangun bangsa. Interaksi Sukarno dengan para pastor SVD di Ende, meskipun tidak terdokumentasi secara tertulis secara lengkap, telah memberikan kontribusi signifikan dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan keberagaman.