Komnas HAM Diminta Usut Tuntas Pelanggaran HAM Berat di Aceh
Masyarakat sipil Aceh mendesak Komnas HAM untuk melanjutkan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Aceh, termasuk peristiwa Rumoh Geudong dan kasus-kasus lain yang belum terungkap, serta memastikan proses hukum berjalan hingga pengadilan.
Organisasi masyarakat sipil di Aceh menyerukan Komnas HAM untuk melanjutkan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di provinsi tersebut. Seruan ini muncul menyusul rencana peresmian Memorial Living Park di situs Rumoh Geudong, Pidie, Aceh pada Februari 2025 mendatang, seperti disampaikan Wakil Menteri HAM, Mugiyanto.
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, memimpin seruan tersebut, ditujukan kepada Komnas HAM untuk menyelidiki kembali kasus-kasus yang sudah diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat, serta menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi selama konflik Aceh. Dukungan datang dari berbagai organisasi, termasuk KontraS Aceh, Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), Katahati Institute, Koalisi NGO HAM, LBH Banda Aceh dan SPKP HAM Aceh.
Negara telah mengakui tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh: Simpang KKA Aceh Utara, Rumoh Geudong-Pos Sattis Pidie, dan Jambo Keupok Aceh Selatan. Namun, masyarakat sipil Aceh juga meminta penyelidikan terhadap peristiwa lain seperti Bumi Flora di Aceh Timur, Arakundo di Idi Cut Aceh Timur, dan Timang Gajah di Kabupaten Bener Meriah.
Selain penyelidikan, tuntutan juga meliputi pengawasan proses hukum hingga pengadilan HAM. Temuan tulang belulang manusia di situs Rumoh Geudong pada Maret 2024 semakin memperkuat desakan agar kasus ini diusut tuntas. Hal ini menjadi penting untuk memastikan keadilan bagi korban dan keluarga mereka.
Husna juga menekankan pentingnya pembentukan kembali Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (Tim PPHAM) untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi. Transparansi dan partisipasi publik, khususnya komunitas korban, juga harus dijamin dalam pengelolaan Memorial Living Park nantinya.
Desakan untuk transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus pelanggaran HAM di Aceh ini merupakan hal krusial. Hal ini penting untuk memastikan bahwa peristiwa kelam masa lalu tidak terulang kembali dan korban mendapatkan keadilan yang layak.
Kesimpulannya, seruan masyarakat sipil Aceh ini merupakan langkah penting untuk mendorong proses perdamaian dan rekonsiliasi di Aceh. Penyelidikan yang menyeluruh dan transparan terhadap semua kasus pelanggaran HAM berat, disertai dengan proses hukum yang adil, menjadi kunci dalam upaya penyelesaian konflik dan membangun Aceh yang lebih damai dan berkeadilan.
Keberadaan Memorial Living Park di Rumoh Geudong diharapkan dapat menjadi simbol komitmen pemerintah dan masyarakat untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM di masa depan. Hal ini membutuhkan komitmen kuat dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah, Komnas HAM, dan masyarakat sipil.