Mentalitas, Bukan Sistem, yang Jadi Akar Korupsi Hakim: DPR
Anggota Komisi III DPR RI menilai kasus korupsi hakim disebabkan oleh lemahnya integritas dan mentalitas, bukan karena sistem peradilan yang bermasalah.

Jakarta, 14 April 2024 - Kasus dugaan suap yang melibatkan tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menguak permasalahan serius dalam sistem peradilan Indonesia. Anggota Komisi III DPR RI, Hasbiallah Ilyas, memberikan pandangannya terkait fenomena ini. Ia menekankan bahwa akar masalahnya bukan terletak pada celah sistem, melainkan pada integritas dan mentalitas para hakim yang terlibat.
Tiga hakim, DJU (Djuyamto), ASB (Agam Syarif Baharuddin), dan AM (Ali Muhtarom), telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Mereka diduga menerima suap miliaran rupiah terkait putusan lepas (ontslag) perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO). Kasus ini melibatkan sejumlah tersangka lain, termasuk MAN (Muhammad Arif Nuryanta), mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, dan AR (Ariyanto), seorang advokat. Total tersangka dalam kasus ini kini mencapai tujuh orang.
Menurut Hasbiallah, sistem governance peradilan Indonesia sebenarnya sudah cukup baik. Namun, keberadaan celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum yang berintegritas rendah tetap menjadi tantangan. Ia menegaskan, "Sistem governance kita sudah cukup baik untuk menutup celah adanya praktik suap, tetapi sesempurnanya sistem, tetap ada celah yang bisa diakali oleh pejabat yang berintegritas rendah. Jadi, ini soal integritas dan mentalitas."
Integritas dan Lingkungan sebagai Faktor Utama
Hasbiallah Ilyas lebih lanjut menjelaskan bahwa faktor lingkungan juga berperan penting dalam mendorong perilaku koruptif. Ia menuturkan, "Dan jangan lupa, lingkungan juga memberi insentif terjadinya suap. Bisa saja hakim yang bersangkutan tidak ada niat atau keinginan bermain perkara, namun ada pihak lain yang berperkara dan pengacaranya yang merayu dan menyuapnya untuk memenangkan perkaranya."
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa gaji tinggi bukanlah jaminan integritas. Banyak abdi negara dengan gaji rendah tetap menolak suap, sementara yang bergaji tinggi justru terjerat korupsi. "Kalau mau jujur, gaji yang tinggi tidak menjamin tidak terjadinya suap. Di sisi lain, banyak abdi negara yang bergaji rendah berani menolak suap. Jadi ini bukan soal nominal gaji, tapi soal mentalitas dan lingkungan," tegasnya.
Kasus ini kembali mengingatkan pentingnya pembenahan sistem dari dalam. Bukan hanya memperbaiki sistem hukum, tetapi juga membangun integritas dan mentalitas para penegak hukum. Perbaikan sistem yang berkelanjutan dan peningkatan pengawasan menjadi kunci untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Kronologi Penetapan Tersangka
Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap ini. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menyatakan penetapan tersangka ini berdasarkan alat bukti yang cukup dan pemeriksaan terhadap tujuh saksi. Ketiganya merupakan majelis hakim yang menjatuhkan putusan ontslag dalam kasus korupsi ekspor CPO.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa para hakim menerima uang suap senilai miliaran rupiah melalui MAN. Uang suap tersebut berasal dari AR, advokat tersangka korporasi. Dengan tambahan tiga tersangka ini, total tersangka dalam kasus tersebut menjadi tujuh orang. Empat tersangka sebelumnya adalah WG (Wahyu Gunawan), MS (seorang advokat), AR (Ariyanto), dan MAN (Muhammad Arif Nuryanta).
Putusan ontslag yang kontroversial tersebut dijatuhkan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat. Meskipun para terdakwa korporasi, termasuk PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group, terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan, majelis hakim memutuskan perbuatan tersebut bukan tindak pidana. Akibatnya, para terdakwa dilepaskan dari tuntutan dan hak-hak mereka dipulihkan.
Kasus ini menyoroti perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem peradilan untuk memastikan keadilan dan integritas dalam penegakan hukum di Indonesia.