Mesir Tolak Pemerintahan Paralel di Sudan, Situasi Krisis Kemanusian Makin Memburuk
Mesir secara tegas menolak pembentukan pemerintahan paralel di Sudan, memperingatkan bahwa hal tersebut akan memperumit krisis kemanusiaan yang sudah parah dan mengancam kedaulatan negara.

Konflik di Sudan semakin memanas dengan Mesir yang secara resmi menyatakan penolakannya terhadap upaya pembentukan pemerintahan paralel. Pernyataan tegas ini dikeluarkan menyusul penandatanganan piagam politik di Nairobi, Kenya, pada 22 Februari lalu, yang melibatkan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dan beberapa kelompok politik serta gerakan bersenjata Sudan. Peristiwa ini telah memicu reaksi keras dari pemerintah Sudan dan negara-negara tetangga, termasuk Mesir, yang khawatir akan dampaknya terhadap stabilitas regional dan krisis kemanusiaan yang sudah memburuk.
Kementerian Luar Negeri Mesir, dalam sebuah pernyataan resmi pada Minggu (2/3), menekankan penolakan terhadap segala upaya yang mengancam persatuan, kedaulatan, dan keutuhan wilayah Sudan. Mereka memperingatkan bahwa pembentukan pemerintahan paralel akan semakin memperumit situasi yang sudah kompleks, menghambat upaya-upaya untuk menyatukan visi kekuatan politik Sudan, dan memperburuk krisis kemanusiaan yang telah menewaskan lebih dari 20.000 orang dan menyebabkan jutaan pengungsi, menurut data PBB. Angka ini bahkan diperkirakan jauh lebih tinggi oleh beberapa penelitian dari universitas di AS, yang memperkirakan korban tewas mencapai sekitar 130.000 jiwa.
Mesir mendesak semua faksi di Sudan untuk mengutamakan kepentingan nasional dan berpartisipasi dalam proses politik yang inklusif, tanpa pengecualian atau campur tangan eksternal. Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan Mesir terhadap potensi dampak negatif dari konflik Sudan terhadap stabilitas regional dan keamanan nasionalnya sendiri. Ketegangan antara pemerintah Sudan dan RSF, yang telah berlangsung sejak pertengahan April 2023, terus menimbulkan ancaman serius bagi perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut.
Perseteruan Sudan dan Kenya Terkait Pemerintahan Paralel
Penandatanganan piagam politik di Nairobi telah memicu protes keras dari pemerintah Sudan. Sudan menganggap pertemuan tersebut sebagai konspirasi untuk mendukung RSF dan menentang otoritas pemerintah yang sah. Sebagai bentuk protes, Sudan bahkan menarik duta besarnya di Nairobi, Kamal Jabara, pada 20 Februari lalu. Namun, Kenya membela perannya dalam pertemuan tersebut, dengan menyatakan bahwa upaya tersebut merupakan bagian dari inisiatif untuk mencari solusi damai bagi konflik Sudan, bekerja sama dengan PBB dan Uni Afrika.
Pernyataan Kenya ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang signifikan antara Sudan dan Kenya terkait peran internasional dalam menyelesaikan konflik. Sudan menganggap keterlibatan Kenya dalam pembentukan pemerintahan paralel sebagai intervensi yang tidak dapat diterima, sementara Kenya berpendapat bahwa upayanya bertujuan untuk membantu mengakhiri konflik dan mengurangi penderitaan rakyat Sudan. Perbedaan persepsi ini menunjukkan kompleksitas konflik Sudan dan tantangan dalam mencari solusi damai yang diterima oleh semua pihak.
Di tengah perselisihan ini, militer Sudan mengklaim telah meraih beberapa kemenangan teritorial melawan RSF di beberapa wilayah, termasuk Khartoum, Gezira, White Nile, dan North Kordofan. Meskipun demikian, RSF masih mempertahankan posisi di beberapa wilayah, terutama di lingkungan timur dan selatan Khartoum. Pertempuran yang terus berlanjut ini semakin memperparah krisis kemanusiaan dan menimbulkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap stabilitas Sudan.
Dampak Konflik dan Krisis Kemanusiaan
Konflik bersenjata antara tentara Sudan dan RSF telah menimbulkan krisis kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Juga, jumlah korban tewas dan pengungsi terus meningkat, menimbulkan beban besar bagi negara-negara tetangga dan organisasi kemanusiaan internasional. PBB dan otoritas setempat melaporkan lebih dari 20.000 orang tewas dan 14 juta orang mengungsi. Namun, perkiraan lain menyebutkan angka korban tewas yang jauh lebih tinggi, mencapai sekitar 130.000 jiwa.
Krisis ini ditandai dengan kekurangan makanan, air bersih, dan layanan kesehatan, yang semakin memperburuk penderitaan penduduk sipil. Banyak warga sipil terjebak dalam zona konflik, dan akses bantuan kemanusiaan seringkali terhambat oleh pertempuran yang terus berlanjut. Situasi ini membutuhkan respons internasional yang cepat dan efektif untuk mencegah bencana kemanusiaan yang lebih besar.
Pernyataan Mesir yang menolak pemerintahan paralel di Sudan menunjukkan keprihatinan yang mendalam terhadap dampak konflik ini. Mesir, sebagai negara tetangga yang memiliki hubungan erat dengan Sudan, memiliki kepentingan yang besar dalam stabilitas dan keamanan negara tersebut. Penolakan Mesir terhadap pemerintahan paralel menekankan pentingnya menjaga persatuan dan kedaulatan Sudan untuk mencegah konflik yang lebih besar dan krisis kemanusiaan yang lebih parah.
Ke depan, diperlukan upaya kolektif dari komunitas internasional untuk mendorong perundingan damai yang inklusif dan efektif antara semua pihak yang bertikai di Sudan. Solusi damai dan berkelanjutan sangat penting untuk mengakhiri konflik, melindungi warga sipil, dan mencegah krisis kemanusiaan yang lebih besar. Peran negara-negara tetangga, organisasi regional, dan PBB sangat krusial dalam upaya ini.