Perang Beban di Merak: Thorir si Porter Lawan Keganasan Troli
Di Pelabuhan Merak, porter seperti Thorir berjuang melawan kemunculan troli yang merebut penghasilan mereka, sebuah pertarungan antara tenaga manusia dan kemudahan teknologi di tengah arus mudik Lebaran.

Pada Jumat dini hari di Dermaga 6 Pelabuhan Merak, Banten, puluhan porter berseragam merah berjibaku membawa koper-koper berat milik pemudik. Thorir, seorang porter berusia 42 tahun, adalah salah satu dari mereka yang merasakan kerasnya perjuangan ini. Ia dan rekan-rekannya bekerja tanpa lelah sejak Kamis pagi, mata merah dan tubuh lelah akibat kurang tidur, demi rupiah yang semakin sulit didapat.
Bagi para porter, setiap koper yang diangkut dari terminal menuju kapal adalah sumber penghidupan. Mereka jarang mudik karena harus bekerja, dan kampung halaman mereka berada di sekitar pelabuhan. Kapan pun kapal bersandar, mereka selalu siap sedia, mata jeli mencari penumpang yang membutuhkan jasa mereka. Koper-koper berat itu, bagi mereka, adalah rezeki, seberat apapun bebannya.
Namun, perjuangan mereka kini semakin berat. Kehadiran troli-troli yang disediakan pihak pelabuhan sejak tahun 2024 telah mengubah segalanya. Penumpang yang dulunya selalu menggunakan jasa porter kini lebih memilih kemudahan troli untuk membawa barang bawaan mereka.
Pertempuran Sengit: Porter vs Troli
Suara troli besi yang berderit nyaring terdengar di dermaga, menjadi pertanda datangnya rombongan pemudik yang menggunakan troli untuk membawa barang bawaan mereka. Para porter, termasuk Thorir, melihat dengan lesu bagaimana pekerjaan mereka direbut oleh kemudahan teknologi tersebut. Thorir menghitung potensi pendapatan yang hilang, pendapatan yang sangat ia butuhkan untuk menghidupi keluarganya.
Sebelum hadirnya troli, Thorir bisa mengangkut 10 hingga 15 barang dalam 24 jam. Sekarang, mendapatkan lima angkutan saja sudah sulit. Bayarannya pun bervariasi, mulai dari Rp10.000 hingga Rp20.000 sekali angkut di hari biasa, dan bisa mencapai Rp30.000 saat Lebaran. Mereka juga menghadapi risiko konflik dengan penumpang yang salah paham, mengira para porter memaksa jasa mereka.
Thorir, seorang ayah dari tiga anak (salah satunya telah meninggal), harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Jika sif porternya sepi, ia akan bekerja sebagai kuli proyek atau penjaga truk. Ia sadar, ia tak bisa sepenuhnya bergantung pada pekerjaan sebagai porter, pekerjaan yang tak memberikan tunjangan hari raya, hanya sedikit sembako sebagai bentuk belas kasih dari pihak pelabuhan.
Harapan di Tengah Lelah
Pintu Dermaga 6 terbuka, dan para porter langsung kembali bersemangat. Mereka berlomba-lomba mencari tempat terbaik di kapal untuk penumpang mereka, berharap mendapatkan tambahan upah. Setelah mengantarkan barang dan menerima upah, mereka kembali ke terminal untuk mencari penumpang lainnya, berpacu dengan waktu dan kehadiran troli-troli yang mengancam penghasilan mereka. Mereka harus cepat, sebelum rezeki mereka direbut lagi.
Kisah Thorir dan para porter di Pelabuhan Merak menggambarkan sebuah realita: perjuangan hidup di tengah perubahan teknologi. Di satu sisi, teknologi menawarkan kemudahan, tetapi di sisi lain, ia juga bisa mengancam mata pencaharian sebagian orang. Perjuangan mereka untuk tetap bertahan di tengah persaingan yang tidak seimbang patut mendapatkan perhatian dan solusi yang adil.
Mereka adalah potret nyata dari mereka yang bekerja keras tanpa kenal lelah, berjuang untuk sesuap nasi di tengah derasnya arus modernisasi. Semoga kisah mereka menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya empati dan keadilan sosial.