Kemacetan Tanjung Priok: Sinkronisasi Instansi Gagal, Pekerja Bongkar Muat Hingga Sopir Terdampak
Kemacetan parah di Pelabuhan Tanjung Priok akibat kegagalan sinkronisasi antar instansi menimbulkan kerugian ekonomi, sosial, dan mengancam kepercayaan global terhadap sistem pelabuhan nasional.

Kemacetan parah yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok pada 16 dan 17 April 2024 lalu telah menimbulkan kerugian besar bagi berbagai pihak. Kejadian ini, menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat SP TKBM Indonesia, Subhan Hadil, merupakan bukti nyata kegagalan sinkronisasi antar instansi terkait. Dampaknya dirasakan oleh pekerja harian, sopir truk peti kemas, dan bahkan pasien yang membutuhkan perawatan medis darurat.
Subhan Hadil menyatakan, "Kemacetan ini sudah berlangsung lama dan dampaknya sangat nyata bagi kami pekerja harian serta tidak ada kompensasi untuk hari kerja yang hilang." Para sopir truk peti kemas juga mengalami kerugian ekonomi akibat kehilangan waktu dan pendapatan. Kemacetan tersebut bukan hanya masalah lalu lintas biasa, melainkan berdampak luas pada sistem ekonomi nasional.
Lebih lanjut, Subhan menjelaskan bahwa kemacetan tersebut menimbulkan dampak ekonomi, sosial, dan imateril yang signifikan. Terhambatnya alur ekspor-impor, lonjakan biaya logistik, dan penurunan efisiensi industri merupakan beberapa dampak yang terlihat jelas. Bahkan, Subhan memperingatkan, "Bahkan bisa saja menggerus kepercayaan global atas sistem pelabuhan nasional."
Dampak Kemacetan: Lebih dari Sekadar Kehilangan Waktu
Dampak kemacetan di Tanjung Priok tidak hanya dirasakan oleh pekerja bongkar muat dan sopir truk. Mereka mengalami kehilangan waktu kerja, pendapatan, dan peningkatan risiko keselamatan kerja. "Tidak adanya dukungan moril, finansial, atau asuransi sosial dari pengusaha menambah beban mereka," ungkap Subhan.
Sopir truk menghadapi kerugian ganda: kehilangan pendapatan akibat waktu tunggu yang lama dan peningkatan biaya operasional. Sementara itu, para pekerja bongkar muat kehilangan hari kerja tanpa kompensasi yang memadai. Situasi ini menunjukkan betapa kompleksnya dampak kemacetan tersebut.
Rumah Demokrasi, melalui Ramdansyah, menawarkan solusi hukum berupa pengajuan 'class action' bagi pihak-pihak yang terdampak. Ramdansyah menjelaskan bahwa 'class action' dapat diajukan karena adanya kerugian yang diderita oleh sekelompok orang akibat kelalaian atau kesalahan pihak lain. Hal ini sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002.
'Class Action' sebagai Solusi Hukum
Ramdansyah menjelaskan rasionalisasi 'class action' dalam konteks kemacetan Tanjung Priok. Ia menekankan bahwa sejumlah peristiwa, kegiatan, atau perkembangan dapat menimbulkan pelanggaran hukum yang merugikan banyak orang secara serentak. Syarat utama 'class action' adalah adanya kerugian yang diderita oleh sekelompok orang atau masyarakat.
Contoh nyata dampak kemacetan yang merugikan masyarakat adalah kesulitan akses layanan kesehatan darurat. Ramdansyah menceritakan pengalaman tenaga medis yang harus mendorong pasien dengan infus di tangan menuju Rumah Sakit Umum Daerah Koja di tengah kemacetan parah. Kejadian ini menyoroti betapa seriusnya dampak kemacetan terhadap akses layanan publik penting.
Rumah Demokrasi mendorong warga Jakarta Utara yang terdampak untuk mempertimbangkan 'class action' sebagai upaya penegakan hak. Mereka siap membantu warga untuk menyampaikan pandangan dan aspirasi agar kejadian serupa tidak terulang dan dampaknya tidak meluas.
Kemacetan di Tanjung Priok menjadi sorotan karena dampaknya yang meluas dan berkelanjutan. Kegagalan sinkronisasi antar instansi telah menimbulkan kerugian ekonomi, sosial, dan bahkan mengancam reputasi sistem pelabuhan nasional. Langkah hukum seperti 'class action' menjadi opsi bagi mereka yang terdampak untuk mencari keadilan dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.