Puasa Ramadhan: Perisai Terkuat Melawan Hawa Nafsu di Era Modern
Kepala Kemenag Kepri, Zoztafia, menjelaskan pentingnya puasa Ramadhan sebagai benteng pertahanan spiritual melawan hawa nafsu di tengah budaya konsumerisme dan hedonisme modern.

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Kepulauan Riau (Kepri), Zoztafia, menyatakan bahwa ibadah puasa Ramadhan merupakan perisai terkuat dalam melawan hawa nafsu. Pernyataan ini disampaikannya di Tanjungpinang pada Sabtu, 15 Maret. Ia menjelaskan bagaimana puasa, meskipun terlihat sederhana, memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk pertahanan spiritual, khususnya di tengah gempuran budaya modern yang cenderung mengutamakan kepuasan instan.
Zoztafia memaparkan bahwa manusia memiliki dualitas: ruh yang mendambakan kesucian dan jasad dengan segala keinginan duniawi. Puasa, menurutnya, menjadi medan pertempuran melawan hawa nafsu yang kompleks dan melelahkan ini. Dengan berpuasa, seseorang secara sadar menundukkan keinginan primer seperti makan dan minum, sebuah bentuk penolakan ego dasar yang melatih pengendalian diri.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa dalam konteks modern yang dipenuhi konsumerisme dan hedonisme, puasa menjadi semakin relevan. Masyarakat, kata Zoztafia, telah terbiasa dengan kepuasan instan dan pemenuhan keinginan tanpa penundaan. Segala sesuatu dirancang untuk memanjakan nafsu, mulai dari makanan cepat saji hingga hiburan 24 jam. "Dalam lingkungan seperti ini, puasa hadir sebagai bentuk perlawanan budaya, sebuah pernyataan bahwa manusia bisa dan harus mengendalikan nafsunya, bukan sebaliknya," ujarnya.
Puasa: Perpaduan Aspek Fisik dan Metafisik
Zoztafia menjelaskan bahwa perjalanan spiritualitas puasa memadukan aspek fisik dan metafisik. Puasa merupakan tindakan fisik menahan diri dari makan dan minum, namun tujuannya adalah metafisik, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai takwa. Perpaduan inilah yang menjadikan puasa melibatkan seluruh dimensi kemanusiaan.
Ia juga menekankan bahwa puasa merupakan latihan kerendahan hati (tawadhu). Ketika lapar dan haus, manusia diingatkan akan keterbatasan dan kerapuhannya. "Bahkan kebutuhan paling dasar seperti makan dan minum tidak bisa dipenuhi sendiri tanpa berkah dari Allah SWT. Kesadaran ini meluruhkan kesombongan dan keangkuhan, sifat-sifat yang menurut Al-Ghazali adalah pengaruh paling berbahaya dari hawa nafsu" ucapnya.
Puasa, menurutnya, merupakan strategi yang telah teruji waktu dalam melawan hawa nafsu. Selama berabad-abad, jutaan Muslim telah merasakan dampak positifnya. Di era modern ini, puasa semakin relevan sebagai bentuk perlawanan spiritual dan budaya terhadap dominasi nafsu.
Relevansi Puasa di Era Modern
Zoztafia berharap agar puasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga berdampak pada kemampuan menahan diri dari godaan lain, seperti marah, bergosip, dan berbohong. Hal ini penting agar puasa tidak kehilangan substansinya sebagai perisai dan pelindung. Ia menekankan pentingnya pemahaman yang komprehensif tentang makna dan tujuan puasa Ramadhan.
Lebih lanjut, Zoztafia mengajak masyarakat untuk merenungkan kembali makna puasa di tengah derasnya arus modernisasi. Puasa bukan hanya sekadar ritual keagamaan, tetapi juga sebagai sarana untuk mengendalikan diri dan mencapai kesucian spiritual. Dengan demikian, puasa dapat menjadi perisai yang efektif dalam menghadapi tantangan zaman modern.
Dalam kesimpulannya, Zoztafia mengajak umat Muslim untuk menjadikan puasa Ramadhan sebagai momentum untuk meningkatkan ketakwaan dan mengendalikan hawa nafsu. Dengan memahami makna dan tujuan puasa secara mendalam, diharapkan ibadah ini dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi kehidupan pribadi dan masyarakat.
Puasa Ramadhan tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengendalikan hawa nafsu. Di era modern ini, nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam puasa menjadi semakin relevan dan penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.