46 Honorer Bangka Tengah Dipecat, Aturan Baru Jadi Alasan
Pemkab Bangka Tengah memberhentikan 46 honorer karena aturan baru soal usia pensiun dan sistem penggajian, memicu kekhawatiran bagi honorer lainnya.
Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung, membuat keputusan kontroversial dengan memberhentikan 46 tenaga honorer. Keputusan ini diambil karena usia para honorer tersebut telah melewati batas 58 tahun. Pemberhentian ini menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran di kalangan honorer lainnya di daerah tersebut. Sekretaris Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BKPSDMD) Bangka Tengah, Dhani, menjelaskan alasan di balik kebijakan ini.
Dhani menyatakan bahwa keputusan tersebut mengacu pada aturan terbaru. Lebih tepatnya, keputusan ini berdasarkan pada keputusan Menpan-RB Nomor 16 Tahun 2025 tentang PPPK Paruh Waktu dan UU Nomor 20 Tahun 2023 Pasal 65 ayat (1) sampai ayat (3). Aturan ini mengatur tentang batasan usia dan sistem kepegawaian bagi tenaga honorer. Selain pemberhentian 46 honorer, terdapat 43 honorer lainnya yang dialihkan ke sistem outsourcing.
Pengalihan sistem ke outsourcing ini menjadi solusi bagi honorer yang masih berada di bawah batas usia pensiun namun tidak memenuhi kriteria untuk diangkat menjadi PPPK paruh waktu. Hal ini dikarenakan adanya batasan waktu dalam pengalihan status kepegawaian. Honorer yang terdata setelah 31 Oktober 2023 tidak dapat dialihkan menjadi PPPK paruh waktu, sehingga sistem outsourcing menjadi alternatif.
Nasib Honorer di Bangka Tengah: Antara Aturan dan Realita
Kebijakan ini menimbulkan beragam reaksi dari berbagai pihak. Banyak yang mempertanyakan dampak kebijakan ini terhadap kesejahteraan para honorer yang telah mengabdi selama bertahun-tahun. Meskipun pemerintah daerah berdalih telah mengikuti aturan yang berlaku, kekhawatiran akan masa depan para honorer tetap ada. Proses pengalihan ke sistem outsourcing pun menimbulkan pertanyaan tentang teknis pelaksanaannya dan jaminan kesejahteraan para honorer.
Dhani menjelaskan bahwa teknis pengadaan jasa untuk honorer sistem outsourcing akan ditangani oleh Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKBPJ). Hal ini memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penggajian. Namun, belum ada kepastian mengenai besaran gaji dan jaminan sosial bagi para honorer yang dialihkan ke sistem outsourcing. Kejelasan mengenai hal ini sangat penting untuk menjamin kesejahteraan mereka.
Lebih lanjut, Dhani menambahkan bahwa Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), seperti rumah sakit, dikecualikan dari kebijakan ini dan dapat melakukan pengangkatan sendiri. Ini menunjukkan adanya perbedaan perlakuan antara honorer di instansi pemerintahan yang berbeda. Perbedaan ini memicu pertanyaan tentang keadilan dan kesetaraan dalam penerapan kebijakan tersebut.
"Kita sangat memahami situasi dan kondisi mereka, namun pada sisi lain kami wajib mengacu kepada aturan," ujar Dhani. Pernyataan ini menunjukkan dilema yang dihadapi pemerintah daerah dalam menghadapi kebijakan ini. Di satu sisi, mereka harus menjalankan aturan yang berlaku, di sisi lain mereka juga harus memperhatikan nasib para honorer yang terdampak.
Harapan Kejelasan Juknis dan Masa Depan Honorer
Dhani berharap adanya peraturan dan petunjuk teknis (juknis) yang lebih jelas terkait nasib para honorer. Kejelasan juknis ini sangat penting untuk menghindari kesalahan dalam pengambilan keputusan dan memastikan proses transisi berjalan dengan lancar. Tanpa juknis yang jelas, kekhawatiran dan ketidakpastian akan terus menghantui para honorer.
Ke depan, dibutuhkan langkah-langkah konkret untuk memastikan kesejahteraan para honorer. Perlu adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana honorer. Selain itu, penting juga untuk memberikan pelatihan dan pengembangan kompetensi bagi para honorer agar mereka dapat bersaing di pasar kerja. Pemerintah daerah juga perlu mempertimbangkan untuk memberikan jaminan sosial dan perlindungan bagi para honorer.
Kasus pemberhentian 46 honorer di Bangka Tengah ini menjadi sorotan dan pelajaran penting bagi daerah lain. Perlu adanya antisipasi dan perencanaan yang matang dalam menghadapi perubahan kebijakan kepegawaian. Komunikasi yang efektif antara pemerintah daerah dan para honorer juga sangat penting untuk mengurangi kesalahpahaman dan kekhawatiran.
Secara keseluruhan, kebijakan ini menyoroti pentingnya regulasi yang jelas dan perlindungan bagi tenaga honorer. Harapannya, pemerintah dapat memberikan solusi yang adil dan memastikan kesejahteraan para honorer yang telah mengabdi selama bertahun-tahun.