ASEAN Butuh Respons Terkoordinasi Hadapi Tarif Trump
Kebijakan tarif timbal balik Presiden AS Trump mengancam negara-negara ASEAN, membutuhkan respons terkoordinasi untuk menghindari perang dagang dan melindungi industri dalam negeri.
Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, memberlakukan tarif timbal balik global yang berdampak signifikan terhadap negara-negara anggota ASEAN. Tarif ini membebani impor ke AS dengan biaya dasar 10 persen, dengan tarif tambahan yang lebih tinggi diterapkan pada negara atau produk tertentu berdasarkan berbagai faktor, termasuk surplus perdagangan ke AS. Hal ini terjadi di tengah rivalitas AS-China, dan kebijakan ini telah menimbulkan tantangan bagi negara-negara ASEAN untuk merespon secara terkoordinasi.
Tarif yang tiba-tiba dan curam ini mengancam memaksa negara-negara ASEAN untuk membebankan sebagian besar biaya barang ekspor mereka kepada konsumen AS, sehingga membuat barang-barang tersebut lebih mahal dan kurang kompetitif. Semua negara anggota ASEAN terancam oleh tarif ini, dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Variasi ini mencerminkan persepsi AS terhadap negara-negara Asia Tenggara dalam konteks persaingan dengan China.
Filipina, sekutu keamanan utama AS di Asia Tenggara, menghadapi tarif terendah yaitu 18 persen. Brunei, Singapura, dan Malaysia – Ketua ASEAN saat ini – dikenakan tarif antara 24 hingga 25 persen, sebanding dengan yang dikenakan pada negara-negara Uni Eropa (UE). Indonesia, yang mitra dagang terbesar kedua setelah China, menghadapi tarif 32 persen. Negara-negara dengan hubungan politik yang lebih dekat dengan China, seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja, terancam dengan tarif paling berat, yaitu 45-49 persen.
Respons Terkoordinasi ASEAN: Sebuah Keniscayaan
Keparahan tarif Trump yang bervariasi pada negara-negara ASEAN berasal dari beberapa faktor di luar surplus perdagangan. Tarif tersebut tampak lebih tinggi atau lebih rendah tergantung pada apakah negara Asia Tenggara yang menjadi sasaran mempertahankan hubungan keamanan komprehensif dengan AS dan kedekatannya dengan China. Tarif ini jelas mencerminkan persepsi AS tentang Asia Tenggara dalam konteks rivalitas geopolitik AS-China.
Tarif AS telah memengaruhi negara-negara ASEAN, menyebabkan mereka merespons secara berbeda. Anggota ASEAN yang menghadapi tarif dari negara yang sama harus mendorong koordinasi dalam respons bersama. Namun, pada kenyataannya, mereka kesulitan untuk mencapai kesepahaman.
Di antara kemungkinan respons negara-negara ASEAN terhadap tarif ini, pendekatan yang paling masuk akal adalah pendekatan yang terencana dengan baik yang menghindari dua ekstrem: meningkatkan perang dagang dengan membalas dengan tarif terhadap AS, atau sepenuhnya menenangkan AS dengan menawarkan konsesi perdagangan yang berlebihan.
Menghindari Perang Dagang dan Penenangan Berlebihan
Perbedaan signifikan dalam ukuran ekonomi antara negara-negara ASEAN dan AS membuat perang dagang tidak layak. Perbedaan ukuran ekonomi juga berarti bahwa masuknya barang-barang AS yang tidak terkendali ke negara ASEAN, tanpa tindakan pencegahan, akan sangat membahayakan industri dalam negeri mereka.
Oleh karena itu, ASEAN harus menghindari terlibat dalam pertempuran yang tidak seimbang dengan raksasa ekonomi dan sepenuhnya berada di bawah belas kasihan potensi defisit perdagangan. Meskipun negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia telah menganjurkan respons bersama, anggota ASEAN lainnya telah menerapkan langkah-langkah individual yang drastis.
Vietnam baru-baru ini menawarkan untuk menghapus semua tarif atas ekspor AS, sebuah manuver penenangan, tetapi proposal tersebut ditolak AS dalam waktu dua hari. Jelas bahwa respons terisolasi negara ASEAN mana pun terhadap tarif Trump tidak mungkin membujuk negara adidaya untuk mengurangi kebijakan perdagangannya.
Kekuatan dalam Persatuan: Sejarah dan Masa Depan ASEAN
ASEAN harus mengkoordinasikan respons anggotanya untuk menyampaikan pesan kolektif: bahwa ASEAN tidak akan membiarkan kawasan ini dengan mudah didorong dan akan membantu anggotanya terlepas dari persaingan perdagangan dan geopolitik AS-China. Sejarah ASEAN menunjukkan bahwa organisasi multilateral ini diciptakan untuk membantu negara-negara Asia Tenggara kecil menghadapi krisis seperti tantangan tarif saat ini.
Deklarasi ASEAN tahun 1967 menekankan kesejahteraan ekonomi melalui pemahaman yang baik dan kerja sama yang bermakna di dalam – dan bahkan di luar – kawasan tersebut. ASEAN berbagi tanggung jawab untuk memperkuat stabilitas ekonomi dan sosio-politik kawasan dan memastikan pembangunan nasional yang damai bagi anggotanya. Kemampuan ASEAN untuk mengelola kedekatannya dengan AS dan China juga menunjukkan potensinya dibandingkan dengan respons yang tidak terkoordinasi.
ASEAN adalah salah satu dari sedikit organisasi multilateral selain PBB yang secara konsisten mampu membawa AS dan China untuk menghadiri pembicaraan, bukan hanya mengandalkan tekanan sepihak. AS dan China secara teratur menghadiri ASEAN Regional Forum dan bahkan ASEAN Defence Ministers Meeting Plus, termasuk latihan militer bersama.
Namun, preferensi Trump untuk negosiasi bilateral daripada pembicaraan multilateral akan menjadi tantangan bagi kemampuan ASEAN untuk mengkoordinasikan respons terpadu terhadap tarifnya. Setiap negara ASEAN akan mendapat manfaat dari menyajikan front persatuan melawan tarif AS dan harus menunjukkan kemauan untuk memperkuat satu sama lain sebagai kolektif untuk menahan tantangan perang dagang yang akan datang.