Gubernur Jateng Tolak Sekolah Siswa Bermasalah di Barak TNI, Pilih Jalur Hukum
Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, lebih memilih jalur hukum untuk mendisiplinkan siswa bermasalah daripada mengirim mereka ke barak TNI, berbeda dengan rencana Gubernur Jawa Barat.
Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, menolak rencana ‘menyekolahkan’ siswa bermasalah di barak TNI. Pernyataan ini disampaikan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/4), usai menghadiri rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI. Beliau menegaskan preferensi pemerintah daerah Jawa Tengah untuk tetap berpegang pada aturan hukum yang berlaku dalam menangani siswa yang melakukan pelanggaran.
Luthfi menyatakan, "Sudah ada aturan hukumnya kenapa harus ngarang-ngarang? Kami sih enggak usah, sesuai dengan ketentuan saja." Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang akan menempatkan siswa bermasalah di barak militer mulai 2 Mei 2025. Luthfi menekankan pentingnya penegakan hukum bagi siswa yang telah cukup umur dan terbukti melakukan tindak pidana.
Menurutnya, proses hukum yang berlaku akan memberikan efek jera bagi siswa yang berusia di atas 12 tahun. "Kalau anak-anak sudah di atas umur, melakukan tindak pidananya, sidik tuntas terkait dengan tindak pidananya, ‘kan begitu," jelasnya. Sementara itu, bagi siswa di bawah umur, Luthfi menyarankan pendekatan yang lebih humanis, yaitu pembinaan di sekolah dan melibatkan peran orang tua.
Perbedaan Pendekatan Jawa Tengah dan Jawa Barat
Perbedaan pendekatan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat dalam menangani siswa bermasalah cukup signifikan. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, berencana menempatkan siswa di barak militer sebagai bagian dari program pendidikan karakter, bekerja sama dengan TNI dan Polri. Program ini direncanakan akan diterapkan bertahap di daerah-daerah yang dianggap rawan.
Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa program ini akan dilaksanakan di sekitar 30 hingga 40 barak khusus yang telah disiapkan oleh TNI. Namun, Gubernur Jateng memiliki pandangan yang berbeda. Beliau berpendapat bahwa sistem hukum yang sudah ada sudah cukup untuk menangani masalah kenakalan remaja dan lebih memilih untuk mengikuti prosedur hukum yang berlaku.
Meskipun keduanya bertujuan untuk mendisiplinkan siswa bermasalah, metode yang dipilih sangat berbeda. Jawa Barat memilih pendekatan militer untuk pendidikan karakter, sementara Jawa Tengah menekankan pada penegakan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku, dengan pembinaan di sekolah dan peran orang tua untuk siswa di bawah umur.
Sistem Hukum yang Berlaku sebagai Solusi
Gubernur Luthfi meyakini bahwa sistem hukum Indonesia sudah cukup memadai untuk menangani kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh siswa. Beliau menekankan pentingnya memberikan efek jera bagi siswa yang telah cukup umur, dengan tetap mengedepankan pembinaan bagi siswa di bawah umur. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah Jawa Tengah untuk menyelesaikan masalah kenakalan remaja melalui jalur yang legal dan terukur.
Dengan adanya perbedaan pendekatan ini, perdebatan mengenai metode yang paling efektif dalam menangani kenakalan remaja di Indonesia masih terus berlanjut. Kedua pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan keberhasilannya mungkin bergantung pada konteks dan karakteristik daerah masing-masing.
Lebih lanjut, Gubernur Luthfi juga menekankan pentingnya peran sekolah dan orang tua dalam membina siswa. Menurutnya, mengembalikan siswa kepada lingkungan pendidikan dan keluarga merupakan langkah yang lebih efektif daripada menempatkan mereka di lingkungan militer. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan Jawa Tengah lebih berfokus pada pemulihan dan rehabilitasi daripada hukuman semata.
Kesimpulannya, perbedaan pendekatan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat dalam menangani siswa bermasalah menunjukkan adanya beragam perspektif dalam menyelesaikan masalah kenakalan remaja. Pilihan metode yang tepat mungkin bergantung pada berbagai faktor, termasuk usia siswa, jenis pelanggaran, dan kondisi sosial ekonomi daerah tersebut.