IHSG Lebih Tahan Banting: Analis Puji Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Ancaman Global
Analis menilai kinerja IHSG Indonesia lebih baik daripada sejumlah negara lain, menunjukkan resiliensi ekonomi Indonesia di tengah gejolak pasar global akibat perang tarif AS-China.
Jakarta, 9 April 2025 - Ancaman perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China berdampak signifikan terhadap pasar global, namun kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia justru menunjukkan ketahanan yang lebih baik dibandingkan sejumlah negara lain. Hal ini menunjukkan respon positif pelaku pasar terhadap resiliensi ekonomi Indonesia.
Menurut Nafan Aji Gusta, analis dari Mirae Asset Sekuritas, performa IHSG jauh lebih baik karena pasar merespon positif ketahanan ekonomi Indonesia. Data yang dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Sarasehan Ekonomi bersama Presiden Republik Indonesia pada Selasa (8/4) memperkuat pernyataan tersebut. Meskipun IHSG melemah 7,8 persen pada 8 April 2025 dibandingkan 2 April (hari pengumuman tarif Presiden Trump), penurunan ini jauh lebih kecil dibandingkan negara lain.
Penurunan IHSG sebesar 7,9 persen hingga mencapai 5.996,14 pada penutupan 8 April 2025, terbilang moderat jika dibandingkan dengan pelemahan pasar di negara lain. Italia mengalami penurunan 14,2 persen, Argentina 14 persen, Vietnam 13,8 persen, Prancis 11,9 persen, Singapura 11,8 persen, Jerman 11,6 persen, dan bahkan indeks pasar AS sendiri merosot 10,7 persen. Negara-negara lain seperti Inggris (10,5 persen), Kanada (9,7 persen), Thailand (9,1 persen), dan Jepang (8,2 persen) juga mengalami penurunan yang lebih tajam.
Ketahanan Ekonomi Indonesia: Faktor Penentu Kinerja IHSG
Nafan menjelaskan bahwa ketahanan IHSG dipengaruhi beberapa faktor. Ekspor Indonesia ke AS hanya 2 persen dari PDB, angka terendah di Asia Tenggara (dibandingkan Thailand 11 persen dan Malaysia 10 persen). Meskipun AS menerapkan tarif resiprokal 32 persen pada produk Indonesia, tarif ini masih lebih rendah daripada negara pesaing seperti Bangladesh, Kamboja, China, Sri Lanka, dan Vietnam yang dikenai bea masuk 37-49 persen. Hal ini justru dapat memperkuat daya saing Indonesia dalam menarik investasi asing langsung (FDI).
Lebih lanjut, Nafan menambahkan bahwa insentif pemerintah juga menjadi daya tarik bagi pelaku pasar. Hal senada juga disampaikan Verdhana Sekuritas yang menyoroti Sarasehan Ekonomi yang dihadiri Presiden dan para pemangku kepentingan utama. Verdhana mencatat bahwa Indonesia memandang tarif resiprokal AS sebagai peluang strategis dengan pendekatan konsiliatif, yaitu mengalihkan impor ke produk-produk AS seperti pertanian, energi, dan teknologi.
Pemerintah Indonesia juga akan memberikan insentif fiskal untuk meningkatkan impor AS dan mempertahankan daya saing ekspor. Kuota, lisensi, dan hambatan impor lainnya akan dihapuskan untuk meningkatkan kemudahan berbisnis. Verdhana juga mencatat bahwa persyaratan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) akan beralih dari mandat yang kaku ke kerangka kerja berbasis insentif.
Dengan mengalihkan sebagian kecil impor ke AS, Indonesia berpotensi menurunkan tarif dan meningkatkan daya saing. Hal ini berbeda dengan negara lain seperti Vietnam yang perlu meningkatkan impornya ke AS hingga 11 kali lipat. Pemerintah juga akan melindungi sektor padat karya dalam negeri seperti tekstil, garmen, dan alas kaki, serta membentuk gugus tugas khusus untuk mengurangi risiko PHK.
Strategi Pemerintah Hadapi Tantangan Global
Pemerintah Indonesia juga berencana mengeksplorasi pasar baru seperti Uni Eropa dan kawasan lain. Reformasi bea cukai, administrasi pajak, dan penegakan hukum juga akan diprioritaskan untuk mengatasi impor ilegal dan praktik dumping. Verdhana menilai bahwa respon pemerintah, baik yang bernada mendamaikan maupun berfokus pada reformasi, tepat waktu dan menunjukkan komitmen untuk menghadapi tantangan global.
Kesimpulannya, kinerja IHSG yang lebih baik dibandingkan negara lain menunjukkan resiliensi ekonomi Indonesia. Strategi pemerintah yang proaktif dan komprehensif dalam menghadapi perang tarif AS-China, dikombinasikan dengan rendahnya ketergantungan ekspor ke AS, menjadi faktor kunci di balik ketahanan ini. Ke depan, perlu terus dilakukan pemantauan terhadap perkembangan ekonomi global dan implementasi kebijakan pemerintah.