Indonesia Harus Tegas Hadapi Negosiasi Tarif dengan AS, Pakar Nilai Kedaulatan Ekonomi Nasional Terancam
Pakar Hubungan Internasional menilai Indonesia wajib tegas dalam negosiasi tarif dengan AS untuk menjaga kedaulatan ekonomi nasional di tengah tekanan terkait QRIS, barang bajakan, dan subsidi.
Jakarta, 22 April 2024 - Teuku Rezasyah, pakar Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran, menekankan pentingnya sikap tegas Indonesia dalam negosiasi tarif resiprokal dengan Amerika Serikat (AS). Negosiasi ini diwarnai kritik AS terhadap kebijakan ekonomi Indonesia, termasuk penggunaan QRIS, penanganan barang bajakan, dan transparansi subsidi. Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap potensi gangguan terhadap kebijakan perdagangan jangka panjang Indonesia.
Menurut Reza, ketegasan Indonesia sangat krusial untuk melindungi kedaulatan ekonomi nasional dalam situasi geopolitik global yang dinamis. Sikap lunak terhadap tekanan AS, menurutnya, dapat ditafsirkan negatif oleh negara lain, seperti China, dan berpotensi merugikan kepentingan ekonomi mereka. Ia menambahkan, "Sikap RI hendaknya terbuka, tegas, namun juga konsisten dengan semua aturan yang berlaku di tingkat nasional dan internasional."
Pernyataan ini disampaikan Reza menanggapi laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 dari Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) yang mengkritik sejumlah kebijakan Indonesia sebagai tidak transparan dan kurang akomodatif bagi perusahaan-perusahaan AS. Laporan tersebut menyoroti sistem QRIS dan penanganan barang bajakan di Indonesia sebagai contoh utama.
Tegas dan Konsisten: Jaga Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Reza menegaskan pentingnya konsistensi Indonesia dalam mempertahankan kebijakan yang sudah sesuai aturan nasional dan internasional. Ia menekankan bahwa penggunaan QRIS bukanlah keputusan sepihak, melainkan bagian dari kesepakatan ASEAN dalam kerangka ASEAN Economic Community (AEC). Mengubah sistem pembayaran yang sudah mapan, menurutnya, berisiko mengganggu kenyamanan dan efisiensi dunia usaha nasional. "Pemerintah Indonesia tak bisa memaksa para pelaku ekonominya berpindah dari QRIS," tegasnya. "Karena para pelaku ekonomi tersebut sangat paham atas berbagai mekanisme pembayaran di tingkat internasional. Mengarahkan mereka untuk berpindah dari QRIS berpotensi merusak kenyamanan aktivitas dunia usaha."
Terkait kritik USTR mengenai barang bajakan di Mangga Dua, Reza menyarankan agar keluhan tersebut dilengkapi data intelijen ekonomi yang akurat untuk penindakan yang lebih efektif. Sementara itu, mengenai kritik soal transparansi subsidi, Reza menyatakan bahwa sistem subsidi nasional Indonesia telah sesuai dengan prinsip-prinsip WTO, meskipun USTR mencatat hanya satu notifikasi subsidi sejak Indonesia bergabung dengan WTO pada 1995.
Reza menjelaskan, "Sebenarnya subsidi tersebut sudah terselenggara secara mengikuti aturan WTO secara benar, transparan dan sudah disesuaikan dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang berkeadilan dan transparan." Ia juga menanggapi kritik terhadap berbagai insentif fiskal dan nonfiskal yang diberikan pemerintah Indonesia.
Negosiasi Tarif Intensif: Mencari Titik Temu
Pemerintah Indonesia dan USTR telah sepakat untuk segera membahas negosiasi tarif secara intensif dan menyiapkan kerangka kerja sama dalam waktu 60 hari. Kesepakatan ini dicapai dalam pertemuan tingkat Menteri antara Delegasi RI yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan pihak USTR yang langsung dipimpin oleh Ambassador Jamieson Greer di Washington DC. Proses ini membutuhkan strategi yang cermat dan komprehensif dari Indonesia untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan tanpa mengorbankan kepentingan nasional.
Indonesia perlu mempersiapkan data dan argumen yang kuat untuk menghadapi setiap poin kritik dari AS. Transparansi dan keterbukaan dalam menyampaikan informasi, disertai dengan penekanan pada kedaulatan ekonomi nasional, akan menjadi kunci keberhasilan negosiasi ini. Ketegasan dan konsistensi Indonesia dalam mempertahankan kepentingan nasional akan menjadi penentu dalam menjaga keseimbangan hubungan ekonomi dengan AS.
Kesimpulannya, negosiasi tarif antara Indonesia dan AS membutuhkan strategi yang tepat. Indonesia harus bersikap tegas dan konsisten pada kepentingan nasional, didukung oleh data yang akurat dan argumen yang kuat, untuk mencapai kesepakatan yang adil dan saling menguntungkan.