Kemenkeu Tetapkan Tarif Baru Pajak Kripto: PPh Naik, PPN Dibebaskan, Apa Dampaknya?
Kementerian Keuangan resmi merilis tarif baru pajak kripto melalui PMK 50/2025. PPh naik, namun PPN dibebaskan. Simak detail perubahan dan dampaknya!
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara resmi menetapkan tarif baru pajak kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025. Kebijakan ini membawa perubahan signifikan, terutama pada kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 final dan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk transaksi kripto.
Penyesuaian tarif pajak kripto ini dijelaskan oleh Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, dalam taklimat media di Jakarta pada hari Kamis. Perubahan ini didasari oleh evolusi sifat kripto yang kini tidak lagi hanya sebagai komoditas, melainkan telah bertransformasi menjadi aset keuangan digital.
Sebelumnya, kripto diperdagangkan sebagai komoditas di bursa berjangka, namun kini berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Transisi status ini menjadi landasan utama bagi pemerintah untuk merevisi struktur perpajakan, demi menciptakan keadilan berusaha dan kepastian hukum bagi pelaku di ekosistem aset digital.
Perubahan Status Kripto dan Implikasinya pada PPh
Sebelumnya, ketika kripto ditetapkan sebagai komoditas yang diperdagangkan di bursa berjangka, besaran tarif PPh Pasal 22 final diatur secara berbeda. Untuk transaksi yang dilakukan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) yang terdaftar di Bappebti, tarif PPh 22 final adalah 0,1 persen dari nilai transaksi. Sementara itu, transaksi melalui PPMSE yang tidak terdaftar di Bappebti dikenakan tarif 0,2 persen.
Seiring dengan peralihan kripto menjadi aset keuangan digital di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tarif PPh Pasal 22 final mengalami penyesuaian. Kini, PPh Pasal 22 final ditetapkan sebesar 0,21 persen untuk pungutan yang dilakukan oleh PPMSE dalam negeri. Untuk transaksi melalui PPMSE luar negeri atau penyetoran mandiri, tarif yang berlaku adalah 1 persen.
Kenaikan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menyesuaikan regulasi perpajakan dengan karakteristik baru aset kripto. Penyesuaian ini juga bertujuan untuk mengkompensasi pembebasan PPN, yang akan dijelaskan lebih lanjut.
Pembebasan PPN: Kripto Setara Surat Berharga
Dalam regulasi sebelumnya, transaksi kripto dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan besaran tertentu. Tarif PPN yang berlaku adalah 0,11 persen dari nilai transaksi jika dilakukan melalui PPMSE yang terdaftar di Bappebti. Apabila transaksi dilakukan melalui PPMSE yang tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPN yang dikenakan adalah 0,22 persen.
Dengan adanya PMK baru, kripto kini diperlakukan setara dengan surat berharga dalam konteks perpajakan. Implikasi dari perubahan status ini adalah pembebasan PPN atas transaksi kripto. Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa PPN tidak dikenakan lagi karena kripto sudah masuk dalam karakteristik surat berharga.
Pembebasan PPN ini dikompensasi dengan adanya sedikit kenaikan pada PPh Pasal 22 final. Hal ini menunjukkan pendekatan holistik dari pemerintah dalam menata ulang kerangka perpajakan aset digital. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan mendorong pertumbuhan ekosistem kripto di Indonesia.
Pajak untuk PPMSE dan Penambang Kripto
Meskipun transaksi kripto mengalami perubahan tarif PPh dan pembebasan PPN, aktivitas yang dilakukan oleh PPMSE dan penambang kripto (mining) tetap dikenakan PPN dan PPh atas jasa yang mereka berikan. Hal ini untuk memastikan keadilan dan pemerataan beban pajak di seluruh rantai nilai ekosistem kripto.
Untuk jasa penyediaan sarana elektronik yang dilakukan oleh PPMSE, PPN dikenakan atas nilai lain sebesar 11/12 dari penggantian, yang mencakup komisi atau imbalan. Sementara itu, jasa verifikasi yang dilakukan oleh penambang kripto dikenakan PPN dengan besaran 2,2 persen. Selain PPN, penambang juga dikenakan PPh dengan tarif sesuai Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Terkait PPMSE luar negeri, penunjukan mereka sebagai pemungut pajak dilakukan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang mendapat wewenang dari Menteri Keuangan. Kriteria penunjukan ditentukan berdasarkan nilai transaksi serta jumlah trafik atau pengakses, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Prinsip ini diterapkan untuk memberikan level of playing field atau keadilan berusaha yang setara antara PPMSE dalam dan luar negeri.