Koperasi Desa Merah Putih: Harapan Baru Ekonomi Indonesia dari Desa?
Peluncuran Koperasi Desa Merah Putih oleh Presiden Prabowo Subianto pada Juli 2025 diharapkan menjadi solusi bagi pembangunan ekonomi Indonesia dari tingkat desa, namun tantangan dan pro-kontra tetap ada.
Peluncuran Koperasi Desa Merah Putih oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada 12 Juli 2025 mendatang telah memicu beragam reaksi. Inisiatif ini diharapkan mampu membangun ekonomi nasional dari akar rumput, namun juga menuai pro dan kontra, dengan keraguan akan efektivitas dan keberlanjutannya di tengah kompleksitas ekonomi pedesaan.
Namun, wacana ini bukan sekadar gerakan simbolik. Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2023-2028, Tito Sulistio, dalam diskusi di GREAT Institute, mengungkapkan optimisme. Beliau menyebut Koperasi Desa Merah Putih sebagai pintu masuk menuju industrialisasi pedesaan berbasis ekonomi Pancasila, sebuah langkah untuk menciptakan ekosistem modern yang memadukan nilai-nilai lokal dengan tuntutan global.
Tito menekankan perlunya koperasi desa untuk naik kelas, tidak hanya bergerak di sektor konsumsi atau simpan pinjam, melainkan menjadi pelaku utama dalam rantai produksi, distribusi, bahkan ekspor. Ia juga menyoroti peran Danantara, lembaga yang mengonsolidasi aset negara, sebagai mitra strategis untuk memperkuat posisi tawar dan akses permodalan koperasi. Transparansi dan akuntabilitas dijaga dengan mengaitkan koperasi dengan pengawasan OJK.
Transformasi Ekonomi: Dari Oligarkis ke Rakyat
Turino Yulianto, tokoh koperasi pemuda dan mantan Ketua Kokesma ITB, menambahkan dimensi ideologis. Menurutnya, Koperasi Desa Merah Putih merupakan upaya Presiden Prabowo untuk mentransformasi struktur ekonomi dari oligarkis menjadi ekonomi rakyat yang merata. Koperasi desa diharapkan mampu mengoreksi ketidakadilan struktural dan menjadi sarana distribusi kesejahteraan yang efektif, khususnya dalam pengelolaan potensi unggulan desa, pengiriman pupuk, dan usaha desa lainnya.
Turino mencontohkan keberhasilan koperasi di negara maju seperti Jepang (Zen Noh), Belanda (Frisian Flag), dan Brasil (Unimed) yang mendominasi sektor-sektor strategis. Indonesia, dengan lebih dari 74.000 desa, memiliki potensi serupa. Perbedaan fundamental Koperasi Desa Merah Putih dengan BUMDes terletak pada pengakuan badan hukumnya di tingkat internasional, membuka peluang ekspor tanpa perantara besar.
Sebagai contoh, koperasi peternak sapi perah dapat langsung bermitra dengan pabrik susu di luar negeri. Namun, keberhasilan program ini bergantung pada beberapa faktor krusial, termasuk pengembangan kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan intensif, akses pasar yang adil, dan dukungan pemerintah berupa insentif, kemudahan pembiayaan, subsidi teknologi, dan perlindungan hukum.
Koperasi Desa: Pusat Inovasi dan Regenerasi Sosial
Koperasi Desa Merah Putih tidak hanya dilihat sebagai entitas ekonomi, tetapi juga sebagai pusat inovasi dan regenerasi sosial di desa. Koperasi yang sehat akan melahirkan kelas menengah desa yang kuat, mandiri, dan produktif. Langkah Presiden Prabowo ini dapat dibaca sebagai upaya untuk menempatkan rakyat sebagai aktor utama ekonomi nasional.
Dengan perencanaan yang matang, regulasi yang tepat, dan profesionalisme tinggi, Koperasi Desa Merah Putih berpotensi menjadi titik balik kebangkitan ekonomi Indonesia, berakar kuat di desa namun menjulang tinggi ke pentas dunia. Keberhasilannya akan sangat bergantung pada kemampuan untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada.
Program ini memerlukan pengawasan yang ketat dan evaluasi berkala untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitasnya. Partisipasi aktif masyarakat desa juga sangat penting dalam keberhasilan program ini. Dengan demikian, pembangunan ekonomi Indonesia tidak hanya bergerak dari bawah ke atas, tetapi juga menumbuhkan fondasi sosial yang lebih adil dan berkelanjutan.