KPK Usut Dugaan Pemerasan TKA di Imigrasi, Modus Rp53,7 Miliar Terungkap Sejak Era Cak Imin
KPK tengah mengusut dugaan praktik pemerasan TKA saat melintasi imigrasi, terkait kasus RPTKA yang merugikan Rp53,7 miliar sejak 2009.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut dugaan praktik pemerasan terhadap tenaga kerja asing (TKA). Praktik ini diduga terjadi saat TKA melewati proses keimigrasian di pintu masuk internasional Indonesia. Pengusutan ini merupakan pengembangan dari kasus dugaan pemerasan pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan bahwa pihaknya sedang mengumpulkan informasi. Informasi ini untuk memastikan apakah praktik pemerasan RPTKA juga terjadi pada saat TKA melintasi imigrasi. Hal ini penting untuk mengungkap jaringan pemerasan secara menyeluruh.
Asep menjelaskan bahwa sebelum mengurus RPTKA di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), TKA harus melalui sejumlah proses di imigrasi. Proses awal di imigrasi inilah yang sedang didalami oleh KPK. Pendalaman ini bertujuan untuk mengetahui potensi celah pemerasan sejak awal kedatangan TKA.
Keterkaitan Imigrasi dan Pengurusan RPTKA
Asep Guntur Rahayu menegaskan bahwa pengusutan ini berfokus pada potensi keterkaitan antara proses keimigrasian dan pengurusan RPTKA. Menurutnya, ada indikasi bahwa TKA yang akan mengurus RPTKA di Kemenaker terlebih dahulu harus melewati serangkaian prosedur di imigrasi. "Sebelum masuk ke RPTKA, ketika dia minta atau mencari pekerjaannya, nah masuknya ke imigrasi terlebih dahulu. Itu yang sedang kami dalami," ujar Asep.
Pendalaman ini krusial untuk memetakan alur pemerasan secara komprehensif. KPK ingin memastikan apakah ada oknum di imigrasi yang turut serta dalam praktik pemerasan ini. Hal ini penting untuk memberantas praktik korupsi secara tuntas dari hulu ke hilir.
Sinergi antara penegak hukum dan instansi terkait sangat dibutuhkan. Kerjasama ini diharapkan dapat menutup celah bagi praktik pungutan liar. Tujuannya adalah menciptakan sistem yang bersih dan transparan bagi TKA yang ingin bekerja di Indonesia.
Modus Pemerasan RPTKA dan Kerugian Fantastis
Sebelumnya, pada 5 Juni 2025, KPK telah mengumumkan identitas delapan tersangka dalam kasus pemerasan pengurusan RPTKA di Kemenaker. Para tersangka merupakan aparatur sipil negara di Kemenaker. Mereka adalah Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
KPK mengungkapkan bahwa para tersangka ini diduga telah mengumpulkan uang sekitar Rp53,7 miliar. Jumlah fantastis ini terkumpul selama kurun waktu 2019 hingga 2024. Dana tersebut diperoleh dari praktik pemerasan terkait pengurusan RPTKA.
RPTKA merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh TKA untuk dapat bekerja secara legal di Indonesia. Apabila RPTKA tidak diterbitkan oleh Kemenaker, maka penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat. Kondisi ini membuat TKA terancam dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari.
Ancaman denda inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para tersangka. Pemohon RPTKA terpaksa memberikan sejumlah uang kepada para oknum. Praktik ini menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang demi keuntungan pribadi.
Dugaan Praktik Pemerasan Sejak Era Menteri Sebelumnya
KPK juga mengungkapkan bahwa dugaan praktik pemerasan pengurusan RPTKA ini telah berlangsung sejak lama. Indikasi awal menunjukkan praktik ini telah terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014. Praktik serupa kemudian diduga dilanjutkan pada masa Hanif Dhakiri (2014–2019) dan Ida Fauziyah (2019–2024).
Temuan ini menunjukkan adanya pola korupsi yang terstruktur dan berkelanjutan di lingkungan Kemenaker. KPK berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini hingga ke akar-akarnya. Penyelidikan mendalam terus dilakukan untuk mengungkap seluruh pihak yang terlibat.
Sebagai tindak lanjut, KPK telah menahan kedelapan tersangka tersebut. Kloter pertama penahanan dilakukan pada 17 Juli 2025 untuk empat tersangka. Sementara itu, kloter kedua menyusul pada 24 Juli 2025 untuk empat tersangka lainnya.