Panas Gandong: Tradisi Persaudaraan Dua Negeri di Maluku
Ritual adat Panas Gandong mempererat persaudaraan antara Negeri Rutong dan Rumahkay di Maluku, sebuah tradisi leluhur yang dirayakan dengan prosesi adat selama empat hari.
Tradisi Panas Gandong, yang berarti saudara, kembali mempererat hubungan antara Negeri Rutong di Kota Ambon dan Negeri Rumahkay di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Prosesi adat yang penuh makna ini diawali dengan ritual di Baileo Negeri Rutong, tempat para tetua memohon restu leluhur sebelum keberangkatan rombongan ke Rumahkay. Perjalanan rombongan diiringi nyanyian dan ritual adat, melambangkan kebersamaan dan keberkahan hubungan kedua negeri tersebut.
Raja Negeri Rutong, Reza Valdo Maspaitella, menjelaskan bahwa Panas Gandong bukan sekadar tradisi, melainkan manifestasi nilai persaudaraan dan solidaritas yang diwariskan secara turun-temurun. Kehadiran Gubernur dan Wakil Gubernur dalam acara tersebut semakin memperkuat makna dan nilai penting dari tradisi ini bagi masyarakat Maluku. “Kami sangat berterima kasih pak Gubernur dan Wagub bisa hadir di Rumahkay untuk melaksanakan ritual adat negeri Gandong kakak dan ade, kehormatan besar bagi kami negeri adat atas kehadiran pemimpin daerah untuk melihat negeri adat,” katanya.
Acara yang berlangsung selama empat hari, dari tanggal 18 hingga 21 Maret 2025, meliputi berbagai rangkaian kegiatan adat. Mulai dari penjemputan rombongan di pantai, pameran dan pagelaran seni, kerja bakti, jamuan makan bersama, hingga malam donci dan dendang. Semua kegiatan ini dirancang untuk merayakan dan memperkuat ikatan persaudaraan antara kedua negeri.
Prosesi Adat yang Sarat Makna
Prosesi adat Panas Gandong diawali dengan ritual di Baileo Negeri Rutong, yang disebut Somolopu Mariri Wai' (Angkat Parang, Merebut, Kembali). Di sini, masyarakat memohon restu leluhur sebelum memulai perjalanan ke Negeri Rumahkay. Perjalanan menuju Rumahkay dilakukan dengan menggunakan arumbai (kapal), diiringi ritual adat dan nyanyian tradisional menggunakan bahasa daerah, yaitu kapata. Rombongan membawa bekal dari Negeri Rutong yang dipikul oleh Mama-Mama Mata Ina, menunjukkan semangat kebersamaan dan keberkahan dalam hubungan Gandong.
Setibanya di Negeri Rumahkay, rombongan disambut dengan upacara adat di Rajuno Hatupory. Setelah itu, dilanjutkan dengan ritual adat di Baileo (balai adat) dan syukuran di gereja. Semua rangkaian kegiatan ini menunjukkan betapa pentingnya tradisi Panas Gandong dalam kehidupan masyarakat kedua negeri.
Ketua panitia Panas Gandong Negeri Rumahkay, Timotius Akerina, menjelaskan bahwa rangkaian kegiatan ini bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan dan menghormati sejarah leluhur. Kegiatan ini juga menjadi ajang untuk memperkenalkan budaya dan seni tradisional kepada generasi muda.
Sejarah Panjang Persaudaraan Rutong dan Rumahkay
Hubungan Gandong antara Negeri Rutong dan Rumahkay berakar pada sejarah kedatangan moyang dari Rumahkay, yaitu Kakerissa, Corputty, dan Atapary, ke Negeri Rutong berabad-abad lalu. Mereka mengarungi laut menggunakan Gosepa (rakit) dan singgah di Pantai Rutong. Saat Gosepa mendekati pantai, Kakerissa berseru, “mai lo rua ka tela urete” yang berarti “mari kita singgah di tanah ini.”
Setelah mendarat, Kakerissa berganti nama menjadi Maikatela, kemudian Maspaitella, dari kalimat “mai ka tela” (mari kita ke darat). Corputty berganti nama menjadi Talahatu (“tala hatu na”, tendang batu sauh), dan Atapary menjadi Telapary. Perubahan nama ini menandai dimulainya babak baru dalam sejarah kedua negeri, yang terjalin dalam ikatan persaudaraan yang kuat dan abadi.
Tradisi Panas Gandong bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga perekat hubungan sosial dan budaya yang kuat antara Negeri Rutong dan Rumahkay. Tradisi ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga dan melestarikan nilai-nilai leluhur untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.