Strategi REI DIY Bidik Mahasiswa Baru: Dongkrak Penjualan Properti DIY di Tengah Lesunya Pasar
DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY membidik mahasiswa baru sebagai target pasar utama untuk mendongkrak penjualan properti DIY yang lesu, memanfaatkan momen awal perkuliahan.
DPD Real Estate Indonesia (REI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengambil langkah strategis untuk menggairahkan kembali pasar properti di wilayahnya. Organisasi pengembang properti ini secara khusus membidik segmen mahasiswa baru sebagai target pasar utama. Langkah ini diambil di tengah tren penurunan penjualan properti yang signifikan pada tahun 2025 ini, dengan harapan dapat mendongkrak kembali angka transaksi.
Ketua DPD REI DIY, Ilham Muhammad Nur, mengungkapkan bahwa momen awal perkuliahan mahasiswa baru di Yogyakarta pada September 2025 menjadi waktu yang sangat tepat untuk melancarkan promosi. Pameran properti pun akan diselenggarakan pada bulan tersebut, memanfaatkan kedatangan ribuan keluarga mahasiswa yang berpotensi menjadi pembeli. Strategi ini diharapkan mampu menangkap peluang besar di tengah lesunya pasar.
Berdasarkan data internal pengembang anggota REI DIY, serapan pasar dari luar wilayah DIY mencapai 50 persen. Dari angka tersebut, mahasiswa baru menyumbang kontribusi sekitar 2,5 hingga 5 persen dari total pasar pada setiap awal tahun ajaran baru. Minat pembelian dari segmen ini juga seringkali muncul kembali pada pertengahan semester perkuliahan, menunjukkan potensi pasar yang berkelanjutan.
Peluang Pasar Mahasiswa Baru di Yogyakarta
Meskipun pasar properti DIY secara keseluruhan mengalami penurunan sekitar 20 hingga 30 persen pada semester I 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu, REI DIY tetap optimistis terhadap segmen mahasiswa baru. Penurunan paling tajam terjadi pada segmen rumah di bawah Rp500 juta, yang mengindikasikan melemahnya daya beli pada kelas menengah ke bawah. Namun, potensi dari keluarga mahasiswa baru tetap tinggi.
Ilham Muhammad Nur menjelaskan bahwa pada periode awal perkuliahan, banyak keluarga datang untuk mengantar anak-anak mereka ke Yogyakarta. Momen ini menciptakan potensi pasar yang besar, baik untuk kebutuhan hunian anak selama studi maupun sebagai investasi jangka panjang. Sebagian konsumen memilih properti dengan harga di bawah Rp500 juta, sementara sebagian lainnya memilih hunian di atas Rp1 miliar.
Tujuan pembelian properti oleh segmen ini bervariasi, mulai dari memudahkan pengawasan anak selama masa kuliah hingga menghindari biaya sewa atau kos yang terus meningkat. Menariknya, persentase pembelian untuk tujuan investasi di kalangan keluarga mahasiswa baru ini cenderung lebih besar daripada untuk tujuan hunian semata. Ini menunjukkan adanya kesadaran akan potensi keuntungan dari properti di kota pelajar.
Tantangan Daya Beli dan Dampak Pinjaman Online
Selain faktor daya beli yang menurun, Ilham Muhammad Nur juga menyoroti masalah lain yang turut mempengaruhi penjualan rumah non-subsidi. Catatan negatif dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) perbankan akibat pinjaman daring atau pinjol menjadi kendala serius. Banyak calon pembeli properti yang terhambat pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR) karena riwayat buruk di SLIK.
Menurut Ilham, meskipun pinjaman daring yang macet mungkin hanya bernilai kecil, seperti Rp1 juta atau Rp2 juta, hal itu dapat membuat konsumen tidak "bankable". Kondisi ini seringkali tidak disadari oleh konsumen, padahal mereka memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk membeli properti. Efek domino dari pinjaman daring ini secara signifikan menghambat pertumbuhan pasar properti non-subsidi.
Dengan berbagai tantangan yang ada, REI DIY berharap momentum kedatangan mahasiswa baru pada awal September dapat memberikan dorongan signifikan bagi penjualan properti di DIY. Peluang ini dianggap krusial untuk mengangkat kembali pasar yang sedang lesu. Ilham Muhammad Nur menegaskan pentingnya menangkap peluang ini sebaik mungkin demi keberlangsungan sektor real estate di Yogyakarta.