Terkuak! Presiden Prabowo Beri Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto: Tinjauan Yuridis-Sosial
Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberikan abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto, memicu pro-kontra di masyarakat. Bagaimana tinjauan yuridis-sosial terhadap keputusan abolisi dan amnesti ini?
Pada 30 Juli 2025, publik Indonesia dikejutkan dengan sebuah keputusan penting dari Presiden Prabowo Subianto. Menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025, Presiden secara resmi memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, dan amnesti kepada Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto.
Keputusan ini didasarkan pada Surat Presiden Nomor R-43/Pres/072025 untuk Tom Lembong dan Surat Presiden Nomor R-42/Pres/072725 untuk Hasto Kristiyanto serta 1.115 terpidana lainnya. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap kedua surat permohonan tersebut. Langkah ini menunjukkan penggunaan hak prerogatif Presiden yang diatur dalam konstitusi.
Pemberian abolisi dan amnesti ini sontak memicu beragam respons dari masyarakat. Ada pihak yang menilai keputusan ini sarat kepentingan politik dan berpotensi mencederai sistem penegakan hukum. Namun, tidak sedikit pula yang memuji Presiden atas sikap jiwa besar dan kemampuannya mendengarkan aspirasi publik, melihatnya sebagai upaya rekonsiliasi dan keadilan substantif.
Hak Prerogatif Presiden: Abolisi dan Amnesti dalam Konstitusi
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk memberikan amnesti dan abolisi, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Hak ini, meskipun kuat, tidak bersifat mutlak. Pelaksanaannya tunduk pada prinsip-prinsip hukum, syarat formil, dan kontrol konstitusional melalui pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Abolisi dan amnesti memiliki perbedaan mendasar dengan grasi. Jika grasi diberikan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, abolisi dan amnesti dapat diberikan sebelum atau selama proses hukum berjalan. Keduanya seringkali bersifat kolektif dan bernuansa politik, sehingga pertimbangan DPR menjadi wajib sebagai bentuk checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif.
Amnesti diartikan sebagai penghapusan akibat hukum pidana terhadap perbuatan pidana yang dilakukan oleh sekelompok orang, seringkali dalam konteks politik untuk memulihkan hubungan negara dengan warga negara. Sementara itu, abolisi adalah penghentian proses hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang atas perbuatan pidana, bahkan sebelum ada putusan pengadilan. Keduanya berimplikasi pada penghentian proses hukum atau penghapusan hukuman.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-IV/2006 menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi bukan sekadar tindakan administratif, melainkan tindakan hukum bersifat konstitusional. Hal ini menuntut Presiden untuk memperhatikan prinsip checks and balances. Hak prerogatif ini berfungsi sebagai alat korektif dalam sistem peradilan pidana, terutama jika terdapat ketimpangan hukum atau pertimbangan kemanusiaan.
Abolisi untuk Thomas Lembong: Penghentian Proses Hukum
Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan, terseret kasus impor gula dengan kerugian negara mencapai Rp578 miliar. Jaksa menduga keterlibatan Tom Lembong sejak 12 Agustus 2015, di mana ia menyetujui impor gula kristal mentah tanpa rapat koordinasi dengan kementerian terkait. Ia juga dituduh tidak menunjuk BUMN untuk menstabilkan harga gula, melainkan menunjuk Induk Koperasi Kartika (INKOPKAR) dan beberapa koperasi lainnya.
Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada 18 Juli 2025, Tom divonis 4,5 tahun penjara. Pemberian abolisi oleh Presiden menghentikan proses hukum terhadapnya, bahkan sebelum adanya putusan inkrah.
Menteri Hukum dan HAM menjelaskan bahwa pertimbangan pemberian abolisi ini juga didasari oleh kontribusi Tom Lembong terhadap negara. Namun, beberapa pihak menyarankan Tom Lembong untuk menolak abolisi dan terus berjuang hingga putusan akhir. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa penggunaan kewenangan prerogatif presiden tidak boleh melanggar prinsip due process of law dan non-diskriminatif. Abolisi harus proporsional dan tidak boleh menjadi alat perlindungan bagi elit politik.
Amnesti untuk Hasto Kristiyanto: Pemulihan Status Hukum
Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara. Ia terbukti bersalah memberikan suap kepada mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR untuk Harun Masiku. Hasto dinilai melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Menteri Hukum dan HAM menyebutkan bahwa pemerintah menargetkan pemberian amnesti terhadap 44 ribu narapidana. Hasto Kristiyanto bersama 1.116 terpidana lainnya akhirnya diberikan amnesti. Amnesti ini menghapus seluruh akibat hukum pidana yang telah dijatuhkan kepada penerima, sehingga status hukum mereka dipulihkan sepenuhnya.
Dalam doktrin klasik, amnesti berlaku untuk delik politik, seperti pemberontakan atau penghasutan terhadap negara, dan sering diberikan dalam rangka rekonsiliasi nasional pasca-konflik. Kasus Hasto menjadi salah satu contoh bagaimana amnesti dapat diberikan pada kasus yang dinilai memiliki latar belakang politik, menjawab seruan ketidakadilan dan kriminalisasi yang selama ini disuarakan oleh Hasto dan pendukungnya.
Menakar Implikasi Yuridis-Sosial Abolisi dan Amnesti
Pemberian abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto memunculkan pertanyaan tentang kelayakan dan potensi afiliasi politik. Penting untuk mendalami makna dan tujuan dari kedua instrumen hukum ini. Amnesti dan abolisi memang dapat bernuansa politik, namun untuk menjaga keseimbangan dan objektivitas, keputusan ini harus mendapat pertimbangan DPR, dan Presiden wajib menjelaskan alasannya.
Secara yuridis, hak prerogatif Presiden dijamin Konstitusi untuk mengajukan amnesti dan abolisi demi kepentingan negara, termasuk stabilitas politik. Gelombang protes terhadap proses hukum Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto yang besar memang cukup menurunkan citra penegakan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa hukum sangat berhubungan dengan politik, sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound, Karl Marx, Niklas Luhmann, Jerome Frank, dan Karl Llewellyn, yang melihat hukum sebagai hasil interaksi politik dan kekuasaan.
Apakah pemberian ini menegasikan penegakan hukum? Sejumlah akademisi hukum berpendapat bahwa amnesti dan abolisi harus digunakan secara selektif dan proporsional demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa hak prerogatif presiden tidak dapat dilepaskan dari prinsip checks and balances dan harus ditujukan untuk kepentingan keadilan dan kemanusiaan. Dalam negara hukum, tidak ada kekuasaan yang absolut, termasuk hak prerogatif Presiden.
Amnesti dan abolisi mencerminkan wajah manusiawi dari hukum. Keduanya bukanlah bentuk impunitas, melainkan saluran korektif atas sistem peradilan yang mungkin tidak sempurna. Penggunaan hak prerogatif Presiden ini harus dijaga dalam koridor konstitusi dan etika publik. Dengan adanya mekanisme pertimbangan DPR, Presiden menghormati proses hukum dan mendukung program penegakan hukum, khususnya tindak pidana korupsi. Presiden dan DPR menjadi jalan untuk mewujudkan kepentingan nasional dan keadilan sosial yang hidup dalam masyarakat.
Pemberian abolisi dan amnesti dapat dibaca sebagai koreksi terhadap hasil sistem penegakan hukum. Ketika terjadi kekeliruan atau kekosongan hukum, dan sistem peradilan tidak mampu mengimplementasikan keadilan sosial-politik, amnesti dan abolisi menjadi jalan untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, stabilitas politik dan hukum, serta mengedepankan prinsip HAM dan kemanusiaan. Ini memperlihatkan semangat bahwa sistem hukum harus menyeimbangkan tujuan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta mewujudkan keadilan restoratif, restitutif, rehabilitatif, dan substantif.