Terungkap! KPK Dalami Izin Visa Terkait Dugaan Pemerasan RPTKA di Kemenaker
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serius dalami izin visa dan tinggal TKA, memperluas penyelidikan kasus pemerasan RPTKA di Kemenaker yang rugikan miliaran rupiah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memperluas penyelidikan kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA). Pada akhir Juli, KPK mendalami izin penerbitan visa dan izin tinggal bagi tenaga kerja asing (TKA). Langkah ini dilakukan melalui pemeriksaan seorang aparatur sipil negara (ASN) dari Direktorat Jenderal Imigrasi.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan bahwa pemeriksaan tersebut bertujuan untuk memahami alur lengkap TKA dapat bekerja di Indonesia. Selain membutuhkan RPTKA dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), TKA juga memerlukan visa dan izin tinggal yang diterbitkan oleh Ditjen Imigrasi. Ini menjadi kunci untuk mengungkap potensi penyalahgunaan wewenang.
Pemeriksaan dilakukan terhadap Angga Prasetya Ali Saputra, Kepala Seksi Pemeriksaan II Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Tempat Pemeriksaan Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Penyelidikan ini berlangsung pada Rabu, 30 Juli, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Kasus ini telah menyeret delapan tersangka dari Kemenaker.
Pendalaman Alur Penerbitan Visa dan Izin Tinggal
Penyidik KPK secara spesifik mendalami peran Ditjen Imigrasi dalam proses masuknya TKA ke Indonesia. Pemeriksaan terhadap Angga Prasetya Ali Saputra difokuskan pada mekanisme penerbitan visa dan izin tinggal. Hal ini krusial untuk memastikan tidak ada celah penyalahgunaan yang terhubung dengan kasus RPTKA.
Menurut Budi Prasetyo, pemahaman mendalam tentang prosedur ini sangat penting bagi KPK. Mereka ingin mengetahui secara detail bagaimana seorang TKA bisa mendapatkan izin bekerja di Indonesia. Proses ini tidak hanya melibatkan Kemenaker, tetapi juga lembaga lain seperti Imigrasi.
Keterkaitan antara RPTKA, visa, dan izin tinggal menjadi fokus utama dalam penyelidikan ini. Apabila salah satu syarat terhambat, akan berdampak pada keseluruhan proses legal TKA di Indonesia. Oleh karena itu, KPK berupaya mengungkap seluruh jaringan yang terlibat.
Modus dan Kerugian Kasus Pemerasan RPTKA
Sebelumnya, pada awal Juni 2024, KPK telah mengumumkan identitas delapan tersangka dalam kasus pemerasan RPTKA di Kemenaker. Para tersangka ini merupakan ASN di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan. Mereka adalah Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
KPK menduga, para tersangka telah mengumpulkan dana sekitar Rp53,7 miliar dari tahun 2019 hingga 2024. Dana ini diperoleh dari praktik pemerasan terkait pengurusan RPTKA. RPTKA sendiri merupakan syarat mutlak bagi TKA untuk dapat bekerja secara legal di Indonesia.
Modus operandi yang digunakan adalah dengan menghambat penerbitan RPTKA. Apabila RPTKA tidak diterbitkan, izin kerja dan izin tinggal TKA akan terhambat, yang berujung pada denda Rp1 juta per hari. Kondisi ini memaksa pemohon RPTKA untuk memberikan sejumlah uang kepada para tersangka.
Dugaan Keterlibatan Sejak Era Menteri Terdahulu
Kasus pemerasan pengurusan RPTKA ini diduga telah berlangsung sejak lama. KPK mengindikasikan praktik ini terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014. Kemudian, praktik ini berlanjut pada masa Hanif Dhakiri (2014–2019) dan Ida Fauziyah (2019–2024).
Meskipun demikian, KPK belum memberikan detail lebih lanjut mengenai keterlibatan para menteri tersebut dalam kasus ini. Penyelidikan masih berfokus pada delapan ASN yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Ini menunjukkan kompleksitas dan rentang waktu panjang praktik korupsi ini.
KPK telah menahan kedelapan tersangka tersebut dalam dua kloter. Empat tersangka pertama ditahan pada pertengahan Juli 2024, dan empat tersangka lainnya pada akhir Juli 2024. Penahanan ini merupakan bagian dari upaya KPK untuk menuntaskan kasus pemerasan yang merugikan banyak pihak ini.