Tragedi Banjir Bima: Hadijah, Satu-satunya yang Selamat dari Maut yang Merenggut Enam Anggota Keluarga
Siti Hadijah, warga Bima, NTB, menjadi satu-satunya yang selamat dari banjir bandang yang menerjang rumahnya dan merenggut enam anggota keluarganya; bencana ini juga mengakibatkan kerugian materiil hingga puluhan miliar rupiah.
Banjir bandang yang menerjang Desa Naga Wera, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2 Februari 2025, telah merenggut enam nyawa dari satu keluarga. Siti Hadijah, seorang perempuan berusia 65 tahun, menjadi satu-satunya yang selamat dari tragedi tersebut. Kejadian ini terjadi di sore hari, ketika suara gemuruh air dan material yang terbawa arus sungai menghantam rumahnya.
Hadijah masih mengingat jelas momen mencekam saat air cokelat pekat setinggi pohon menerjang rumahnya. Dia melihat keluarganya yang terdiri dari enam orang, termasuk menantunya, Haryani, cucunya, dan suami serta anak-anak Haryani, terjebak di dalam rumah. Meskipun sempat meminta keluarganya turun, derasnya arus membuat mereka terpisah dan hanyut terbawa banjir.
“Tiba-tiba banjir setinggi pohon menghantam rumah, perlahan tubuh saya pun terlepas dengan rumah dan pandangan ke mereka sembari berteriak. Dari jauh saya melihat, Haryani mencoba untuk turun di arah belakang (dapur). Tapi, banjir terlalu deras hingga ia pun terlepas dengan anaknya,” kenang Hadijah, menggambarkan keputusasaan yang dialaminya saat itu. Dari enam korban, dua telah ditemukan, sementara empat lainnya masih dinyatakan hilang.
Korban Jiwa dan Kerugian Materil
Banjir bandang di Kecamatan Wera dan Ambalawi mengakibatkan delapan warga terseret arus. Empat korban telah ditemukan meninggal dunia, sementara empat lainnya masih dalam pencarian tim gabungan. Selain korban jiwa, bencana ini juga menimbulkan kerugian materiil yang signifikan. Desa Naga Wera menjadi salah satu daerah yang paling parah terdampak, dengan 120 jiwa penduduknya kehilangan tempat tinggal.
Kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp81 miliar, meliputi kerusakan rumah, jembatan, jalan, pipa air minum, bronjong sungai, dan lahan pertanian. Kerusakan lahan pertanian menyebabkan gagal panen dan berdampak pada ketahanan pangan masyarakat. Kepala Pelaksana BPBD Nusa Tenggara Barat, Ahmadi, merinci beberapa kerusakan, di antaranya 12 unit rumah (Rp1,2 miliar), 3 unit jembatan putus (Rp60 miliar), jalan rusak (Rp100 juta), dan 200 hektare sawah tergenang (Rp6 miliar).
Kerusakan infrastruktur yang signifikan juga terjadi di sejumlah sekolah, seperti SMPN 2 Ambalawi dan SMP serta SMA Satu Atap Muhammadiyah Ambalawi. Bencana ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga pada psikologis masyarakat yang mengalami trauma dan ketakutan akibat kehilangan anggota keluarga dan harta benda.
Upaya Penanggulangan Bencana dan Adaptasi Masyarakat
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat telah menginstruksikan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait untuk segera melakukan penanganan darurat pascabanjir. Berbagai upaya penanggulangan bencana telah dilakukan, termasuk evakuasi korban, penyediaan bantuan logistik, dan perbaikan infrastruktur. Pemerintah Kabupaten Bima juga telah mengimplementasikan strategi pengurangan risiko bencana, seperti penguatan kapasitas kelembagaan dan pelatihan kebencanaan bagi masyarakat.
Masyarakat Wera sendiri telah mengembangkan strategi adaptasi untuk bertahan dari dampak banjir, seperti pembangunan rumah panggung dan penggunaan perahu sebagai alat transportasi darurat. Di sisi mitigasi, beberapa komunitas mulai melakukan reboisasi dan pembuatan tanggul. Namun, dukungan yang lebih besar dari pemerintah dan lembaga terkait masih diperlukan untuk memperkuat resiliensi masyarakat.
Partisipasi aktif masyarakat sangat penting dalam pengurangan risiko bencana. Keterlibatan warga dalam kegiatan seperti pengaturan sampah dan pembersihan saluran drainase dapat mengurangi potensi banjir. Kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat perlu terus ditingkatkan melalui sosialisasi dan pelatihan rutin. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan risiko bencana harus terus diperkuat untuk menghadapi potensi bencana alam di masa mendatang.
Banjir bandang di Bima menjadi pengingat penting akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan tata ruang yang baik untuk mengurangi risiko bencana. Upaya mitigasi dan adaptasi yang terpadu antara pemerintah dan masyarakat sangat krusial untuk membangun ketangguhan menghadapi bencana alam, khususnya di wilayah yang rawan bencana hidrometeorologi seperti Nusa Tenggara Barat.