Tragedi Berulang: Kecelakaan Kerja di Indonesia dan Sistem Perlindungan yang Rapuh
Meningkatnya angka kecelakaan kerja di Indonesia pada 2022 menjadi 6.552 kasus menyoroti lemahnya sistem perlindungan ketenagakerjaan dan perlunya tanggung jawab bersama dari perusahaan, pemerintah, dan lembaga keuangan.
Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Pada tahun 2022, angka kecelakaan kerja di Indonesia meningkat drastis menjadi 6.552 kasus, hampir dua kali lipat dari tahun 2021. Korbannya adalah para pekerja di berbagai sektor, dari pabrik hingga kapal laut, yang kehilangan nyawa atau mengalami cedera serius akibat kondisi kerja yang berbahaya. Peristiwa ini terjadi di seluruh Indonesia, dan penyebabnya adalah lemahnya sistem perlindungan ketenagakerjaan, penegakan hukum yang longgar, serta kurangnya komitmen dari perusahaan untuk memprioritaskan keselamatan pekerja. Akibatnya, banyak pekerja, terutama pekerja kontrak dan informal, menjadi korban dari sistem yang rapuh ini.
Data dari BPJS Ketenagakerjaan pada 2024 menunjukkan 462.241 kasus kecelakaan kerja. Angka ini menggambarkan betapa besarnya masalah yang dihadapi Indonesia. Meskipun terdapat regulasi yang mengatur keselamatan dan kesehatan kerja (K3), namun implementasinya masih lemah. Pengawasan yang minim dan budaya menyalahkan korban, bukan memperbaiki sistem, semakin memperparah situasi.
"One workplace injury or death is too many," demikian salah satu tajuk artikel di laman Canada Building Trades Unions. Kalimat ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa setiap nyawa pekerja berharga dan harus dilindungi. Kehilangan nyawa pekerja akibat kecelakaan kerja bukan hanya kerugian bagi keluarga, tetapi juga kerugian bagi bangsa Indonesia.
Sistem Perlindungan Ketenagakerjaan yang Rapuh
Tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Sedunia, dan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Kedua peringatan ini seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Realitasnya, lebih dari 2,7 juta pekerja meninggal setiap tahun akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja secara global (data ILO). Di Indonesia, retaknya sistem K3 bukan hanya soal alat pelindung diri yang tidak layak atau prosedur keselamatan yang diabaikan, melainkan juga lemahnya penegakan hukum dan pengawasan.
Jumlah inspektur ketenagakerjaan yang terbatas membuat pengawasan menjadi kurang efektif. Tanggung jawab perusahaan seringkali hanya berhenti pada formalitas, seperti penyusunan SOP dan pelatihan yang hanya untuk memenuhi kewajiban, bukan membangun budaya keselamatan. Setelah kecelakaan terjadi, penyelidikan seringkali tertutup dan tanpa akuntabilitas publik, sehingga tidak ada pelajaran yang dipetik untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.
Pekerja kontrak, outsourcing, dan tenaga kerja informal menjadi kelompok paling rentan karena relasi kerja yang timpang dan tidak pasti. Mereka hampir tidak mendapatkan perlindungan K3 yang memadai.
Tanggung Jawab Bersama: Perusahaan, Pemerintah, dan Lembaga Keuangan
Isu hak pekerja tidak bisa dilepaskan dari konteks global, terutama perkembangan standar Environmental, Social, and Governance (ESG). Sektor swasta memiliki peran vital dalam membersihkan rantai pasok dari praktik eksploitasi, termasuk kondisi kerja berbahaya. Perusahaan perlu menerapkan kebijakan manajemen rantai pasok yang ketat dan menuntut standar minimum dari pemasok dan subkontraktor.
Lembaga keuangan dan investor juga memiliki tanggung jawab. Mereka dapat menggunakan leverage finansial untuk menekan perusahaan agar memperbaiki sistem perlindungan pekerja. Lembaga pembiayaan dan investor perlu menggunakan indikator sosial dalam penilaian proyek dan calon debitur, dan menghindari pendanaan perusahaan dengan angka kecelakaan kerja yang tinggi atau tidak memiliki komitmen reformasi K3.
Matt Friedman (2024) dalam Promoting Accountability in Supply Chains: The Private Sector’s Role in Combating Modern Slavery menekankan pentingnya peran sektor swasta dalam mengatasi praktik eksploitasi, termasuk kondisi kerja berbahaya yang menyebabkan kecelakaan kerja. Kompleksitas rantai pasok global memungkinkan perusahaan untuk “menutup mata” terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Momentum Perbaikan Sistem K3
Laporan keberlanjutan yang disampaikan perusahaan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus melampirkan data faktual terkait insiden kerja, tindakan korektif, dan progres dalam menjamin hak pekerja. Laporan tersebut harus berbasis bukti dan diverifikasi oleh pihak ketiga, bukan sekadar naratif pemanis citra. Grievance mechanism atau sistem pengaduan buruh harus menjadi ruang penyelesaian yang nyata, bukan hanya formalitas.
Penyelesaian dalam konteks hak asasi manusia berarti mengembalikan individu yang terdampak ke posisi mereka sebelum kecelakaan, atau sedekat mungkin dengan kondisi sebelumnya. Ini termasuk permintaan maaf, akuntabilitas pelaku kesalahan, jaminan tidak akan terulang, dan pemulihan serta ganti rugi yang memadai.
Sudah saatnya kita berhenti bermain-main dengan nyawa pekerja. Perubahan sistem K3 membutuhkan komitmen bersama dari perusahaan, pemerintah, dan lembaga keuangan. Jangan sampai kita baru peduli ketika kecelakaan kerja menimpa orang terdekat kita.
*) Ismail Khozen adalah Manajer Riset Pratama Institute dan Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia