Trivia: MUI Pernah Koreksi Putusan MK, Soroti Pentingnya Peran Ulama dalam Kebijakan Publik demi Kemaslahatan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menekankan pentingnya Peran Ulama dalam Kebijakan Publik demi kemaslahatan umat, bahkan pernah mengoreksi putusan Mahkamah Konstitusi. Simak selengkapnya!
Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menegaskan urgensi peran strategis ulama dalam mendukung kemaslahatan umat. Hal ini disampaikan dalam sebuah konferensi internasional di Jakarta Pusat baru-baru ini. Para ulama diharapkan mampu memberikan masukan konstruktif terhadap kebijakan negara.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. KH. Asrorun Ni'am Sholeh, menyatakan bahwa kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan harus didukung penuh. Namun, jika ada kebijakan yang bertentangan dengan syariat, ulama memiliki kewajiban untuk mengingatkan. Peran ini krusial untuk memastikan arah pembangunan selaras dengan nilai-nilai agama.
Dalam International Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) ke-9 di Hotel Sari Pacific, Jakarta, MUI menyoroti pentingnya kemitraan dengan pemerintah. Melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan, MUI berupaya menjadi mitra strategis dalam perumusan kebijakan. Tujuannya adalah mewujudkan kebijakan publik yang benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat.
Peran Fatwa MUI dalam Koreksi Kebijakan Negara
MUI tidak hanya berperan sebagai pemberi dukungan, tetapi juga sebagai korektor kebijakan negara. Prof. Asrorun Ni'am Sholeh mencontohkan bagaimana MUI pernah membetulkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kasus ini terkait dengan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam UU tersebut, anak di luar pernikahan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, sesuai fikih Islam. Namun, Putusan MK Februari 2012 mengubah norma ini. MK menetapkan bahwa anak luar nikah juga punya hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya jika dibuktikan dengan teknologi.
Putusan MK ini jelas bertentangan dengan fikih Islam, tetapi bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, MUI hadir untuk mengoreksi putusan tersebut. Fatwa MUI menegaskan bahwa anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, yang kemudian menjadi rujukan hakim agama.
Ketaatan pada Ulil Amri dan Syaratnya
Selain koreksi kebijakan, MUI juga menetapkan fatwa mengenai ketaatan kepada ulil amri atau pemimpin. Pada tahun 2012, MUI mengeluarkan fatwa yang mewajibkan ketaatan ini. Namun, ketaatan tersebut tidak bersifat mutlak atau absolut.
Ketaatan kepada pemimpin memiliki tiga syarat utama yang harus dipenuhi. Pertama, kebijakan yang dirumuskan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah Islam. Kedua, kebijakan tersebut harus berorientasi pada kemaslahatan umum atau kepentingan publik yang lebih luas.
Ketiga, jika kebijakan terkait substansi keagamaan, harus dimusyawarahkan dengan lembaga keagamaan yang berkompeten. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan bersifat bersyarat. MUI menekankan pentingnya sinergi antara kekuatan negara dan agama demi kemaslahatan bersama.
Konferensi ini menjadi wadah penting untuk saling menguatkan antara negara dan agama. Tujuannya adalah memastikan praktik kenegaraan mewujudkan kemaslahatan sejati. Agama sebagai pelita diharapkan dapat optimal menyinari ulil amri dalam setiap pengambilan keputusan.