Sepak Bola Indonesia: Kesenjangan Harga Tiket dan Kelas Pekerja
Tingginya harga tiket sepak bola di Indonesia, khususnya Liga 1, menimbulkan kesenjangan akses bagi kelas pekerja yang mayoritas merupakan penggemar sepak bola, sehingga perlu adanya kebijakan jangka panjang untuk pemerataan akses.
Apa yang terjadi ketika jutaan penggemar sepak bola di Indonesia, mayoritas dari kelas pekerja, kesulitan mengakses pertandingan sepak bola favorit mereka? Siapa yang terdampak paling besar? Di mana masalah ini paling terasa? Kapan masalah ini mulai menjadi perhatian? Mengapa akses menjadi terbatas? Bagaimana solusinya? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul di tengah antusiasme sepak bola Indonesia yang tinggi, namun dibayangi oleh harga tiket yang semakin mahal dan sulit dijangkau oleh kelas pekerja.
Indonesia, berdasarkan laporan Ticketgum September 2024, menempati peringkat ke-15 dunia sebagai negara paling "gila bola", mengalahkan negara-negara seperti Belanda dan Portugal. Namun, predikat ini bertolak belakang dengan realita aksesibilitas bagi kelas pekerja yang justru menjadi mayoritas suporter. Tingginya harga tiket pertandingan, khususnya di Liga 1, menjadi penghalang utama bagi mereka untuk menikmati langsung pertandingan sepak bola.
Fanatisme dan loyalitas suporter tak bisa diukur dengan materi, tetapi perlunya kebijakan jangka panjang untuk menjamin akses yang merata bagi semua kalangan menjadi krusial. Pertandingan Liga 1, seperti laga Persija Jakarta vs Persebaya Surabaya di Stadion Gelora Bung Karno, misalnya, menjual tiket termurah seharga Rp 200.000, sebuah angka yang cukup memberatkan bagi sebagian besar kelas pekerja.
Harga Tiket dan Daya Beli Suporter
Harga tiket pertandingan Liga 1 yang tinggi menjadi beban tambahan bagi kelas pekerja yang pendapatannya terbatas. Dengan rata-rata dua pertandingan kandang per bulan, suporter harus merogoh kocek hingga Rp 400.000 hanya untuk tiket. Belum lagi biaya lain seperti membeli jersey resmi klub yang harganya berkisar antara Rp 250.000 hingga Rp 900.000.
Pengamat sepak bola, Sigit Nugroho, menekankan bahwa loyalitas suporter seringkali diiringi pengorbanan finansial. Ia menyatakan bahwa, "Mayoritas suporter berasal dari kelas pekerja, kurang kuat untuk mengikuti harga tiket, baik klub maupun timnas." Sebuah studi komparasi loyalitas fans sepak bola di Indonesia dan Korea Selatan menunjukkan bahwa mayoritas responden suporter Liga 1 Indonesia memiliki pendapatan Rp 5.000.000 - Rp 10.000.000 per bulan. Dengan harga tiket yang terus naik, hal ini berpotensi mengurangi jumlah penonton di stadion.
Sebagai alternatif, Sigit menyarankan agar suporter menonton pertandingan melalui siaran televisi atau platform digital. Namun, solusi ini tidak sepenuhnya ideal bagi suporter yang mendambakan pengalaman menonton langsung di stadion.
Mencontoh Inggris: Regulasi Harga Tiket
Di Inggris, Anggota Parlemen Ian Byrne mengusulkan pembentukan regulator independen untuk menetapkan harga tiket sepak bola. Ia berpendapat bahwa harga tiket yang mahal, seperti yang terlihat pada pertandingan Liverpool vs Tottenham Hotspur, membuat sepak bola menjadi eksklusif dan tak terjangkau oleh kelas pekerja. "Realitanya harga tiket begitu mahal, terutama untuk suporter yang masih muda," kata Byrne.
Bryne mendesak Menteri Kebudayaan, Media, dan Olahraga Inggris untuk mempertimbangkan amandemen yang melibatkan regulator dalam penetapan harga tiket. Hal ini didorong oleh sejarah sepak bola Inggris yang lekat dengan kelas pekerja, dan kekhawatiran agar sepak bola tidak menjadi komoditas yang eksklusif.
Kasus di Inggris ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Dengan terus meningkatnya harga tiket, sepak bola Indonesia berisiko mengalami hal serupa, di mana akses bagi kelas pekerja menjadi semakin terbatas. Perlunya regulasi dan kebijakan yang tepat untuk memastikan sepak bola tetap menjadi hiburan yang terjangkau bagi semua kalangan menjadi sangat penting.
Situasi ini menuntut adanya solusi komprehensif, baik dari pihak penyelenggara liga, klub sepak bola, maupun pemerintah, untuk memastikan agar sepak bola tetap dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, termasuk kelas pekerja yang merupakan tulang punggung suporter di Indonesia.