Alissa Wahid: Masyarakat Indonesia Masih Alergi pada Pendidikan Seksual
Ketua PBNU Bidang Kesejahteraan Masyarakat, Alissa Wahid, menyoroti rendahnya literasi seksual di Indonesia yang berdampak pada tingginya angka perkawinan anak dan kehamilan remaja.

Jakarta, 24 Januari 2024 - Alissa Wahid, Ketua PBNU Bidang Kesejahteraan Masyarakat, mengungkapkan kekhawatirannya terkait rendahnya pemahaman masyarakat Indonesia tentang pendidikan seksual. Menurutnya, banyak orang masih alergi dengan istilah ini, salah memahami tujuannya, dan menganggapnya sebagai ajaran mengenai seksualitas semata.
Alissa Wahid menjelaskan bahwa pendidikan seksual yang tepat bukan tentang mengajarkan seksualitas kepada anak. Lebih tepatnya, pendidikan seksual bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual sejak dini. Hal ini penting untuk memberdayakan anak dalam membuat keputusan yang tepat terkait kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Menurutnya, pendidikan seksual sangat krusial untuk membekali anak dengan pengetahuan tentang konsekuensi dan pentingnya menghargai diri sendiri. Contohnya, ketika anak memasuki masa aqil baligh, mereka perlu memahami fungsi organ reproduksi dan bagaimana cara menjaganya dengan baik. Kurangnya pendidikan ini membuat anak rentan terhadap berbagai risiko, terutama di lingkungan yang kurang sehat.
Akibat minimnya pemahaman pendidikan seksual, anak-anak yang berada di lingkungan yang kurang mendukung menjadi lebih rentan terhadap kekerasan seksual dan kehamilan yang tidak direncanakan. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengendalikan diri serta mengambil keputusan yang bijak. Alissa Wahid menyayangkan minimnya akses pada informasi dan pendidikan yang tepat.
Alissa Wahid juga mengaitkan rendahnya literasi seksual dengan tingginya angka perkawinan anak dan nikah siri. Banyak yang menganggap pernikahan sebagai solusi untuk mencegah zina, namun pandangan ini keliru. Mencegah zina seharusnya dengan tidak melakukan zina, bukan dengan menikah dini tanpa persiapan yang cukup. Pernikahan yang terburu-buru justru bisa menimbulkan dampak negatif lebih besar.
Pernikahan dini seringkali dipicu oleh berbagai faktor, seperti kurangnya kepercayaan diri, pergaulan bebas, tekanan sosial, dan keterbatasan ekonomi keluarga. Namun, jalan pintas ini justru berpotensi menimbulkan masalah kesehatan fisik dan mental, memperparah kemiskinan, dan berdampak buruk pada pengasuhan anak.
Pernikahan di usia muda juga meningkatkan risiko kesehatan reproduksi perempuan, termasuk risiko kanker leher rahim. Oleh karena itu, pendidikan seksual yang komprehensif dan menyeluruh sangat penting untuk mengatasi masalah ini. Pendidikan seksual yang baik membantu anak memahami tubuhnya, membangun rasa percaya diri, dan membuat keputusan yang bertanggung jawab.
Kesimpulannya, perlu adanya upaya serius untuk meningkatkan literasi seksual di Indonesia. Hal ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga orang tua, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas. Dengan memberikan pendidikan seksual yang tepat, kita dapat melindungi anak-anak dari berbagai risiko dan membangun generasi muda yang lebih sehat dan bertanggung jawab.