AS Setujui Penjualan Senjata ke Israel Rp48,9 Triliun di Tengah Gencatan Senjata Gaza
Amerika Serikat menyetujui penjualan senjata senilai Rp48,9 triliun ke Israel, memicu kontroversi di tengah gencatan senjata Gaza dan tuduhan kejahatan perang terhadap pemimpin Israel.

Amerika Serikat (AS) kembali menyetujui penjualan senjata ke Israel senilai 3 miliar dolar AS atau sekitar Rp48,9 triliun. Penjualan ini diumumkan pada Jumat, 28 Februari 2024, oleh Departemen Luar Negeri AS dan telah dilaporkan ke Kongres. Kesepakatan ini mencakup berbagai peralatan militer, memicu perdebatan di tengah situasi politik yang tegang di kawasan tersebut, khususnya gencatan senjata yang rapuh di Gaza.
Penjualan senjata ini meliputi berbagai jenis amunisi, perangkat pemandu presisi, dan bahkan buldoser Caterpillar D9. Rinciannya, kesepakatan terbesar senilai 2,04 miliar dolar AS (sekitar Rp33,2 triliun) mencakup 35.529 bom serbaguna MK 84 atau BLU-117 dan 4.000 hulu ledak penetrator I-2000. Paket lain senilai 675,7 juta dolar AS (sekitar Rp11 triliun) mencakup bom MK 83 dan BLU-110, serta perangkat pemandu JDAM, dengan pengiriman diperkirakan mulai tahun 2028.
Selain amunisi, Israel juga akan menerima buldoser D9R dan D9T Caterpillar senilai 295 juta dolar AS (sekitar Rp4,8 triliun), dengan pengiriman dijadwalkan pada tahun 2027. Pemerintahan sebelumnya membenarkan penjualan ini sebagai upaya untuk mempertahankan Israel dan menanggulangi ancaman regional, menyatakan bahwa transaksi ini sejalan dengan kepentingan nasional AS untuk membantu sekutunya. Namun, keputusan ini menuai kritik mengingat situasi konflik di Gaza dan tuduhan kejahatan perang yang dilayangkan kepada beberapa pemimpin Israel.
Kontroversi di Tengah Gencatan Senjata Gaza
Kesepakatan penjualan senjata ini terjadi saat fase pertama perjanjian gencatan senjata di Gaza berakhir pada Sabtu malam, sementara negosiasi untuk fase selanjutnya sedang berlangsung di Kairo. Gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan yang berlaku sejak bulan lalu telah menghentikan sementara konflik yang telah menewaskan lebih dari 48.300 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan menghancurkan wilayah tersebut.
Situasi ini semakin kompleks dengan adanya surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November lalu terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Kepala Pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional atas perang yang dilancarkannya di wilayah tersebut.
Penjualan senjata AS ke Israel di tengah situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen internasional terhadap perdamaian dan keadilan. Kritik muncul terkait dampak potensial dari penjualan senjata ini terhadap konflik yang sedang berlangsung dan upaya perdamaian di Gaza. Beberapa pihak mempertanyakan apakah penjualan senjata ini justru akan memperburuk situasi dan menghambat proses perdamaian.
Detail Penjualan Senjata
- Nilai Total: 3 miliar dolar AS (sekitar Rp48,9 triliun)
- Amunisi: 35.529 bom serbaguna MK 84/BLU-117, 4.000 hulu ledak penetrator I-2000, bom MK 83 dan BLU-110, perangkat pemandu JDAM
- Peralatan Lain: Buldoser Caterpillar D9R dan D9T
- Jadwal Pengiriman: Amunisi dan perangkat pemandu (2028), Buldoser (2027)
Penjualan senjata ini menimbulkan pertanyaan etis dan politik yang kompleks, terutama mengingat konteks konflik di Gaza dan tuduhan kejahatan perang terhadap pemimpin Israel. Perdebatan mengenai dampak penjualan senjata ini terhadap stabilitas regional dan proses perdamaian akan terus berlanjut.
Meskipun pemerintah AS berdalih bahwa penjualan senjata ini bertujuan untuk membantu sekutu dan menjaga kepentingan nasional, kritikan tetap bergema terkait potensi dampak negatif terhadap upaya perdamaian di Gaza dan pelanggaran HAM yang terjadi. Transparansi dan pertanggungjawaban dalam penjualan senjata internasional menjadi semakin penting dalam konteks ini.