BPS Ungkap Fakta Mengejutkan: Mengapa Kemiskinan Perkotaan Meningkat, Salah Satunya Karena Setengah Pengangguran
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru yang menunjukkan peningkatan kemiskinan perkotaan pada Maret 2025. Fenomena ini dipicu oleh beberapa faktor, termasuk lonjakan jumlah setengah pengangguran.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan adanya kenaikan tingkat kemiskinan di wilayah perkotaan pada Maret 2025. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan bahwa salah satu faktor utama pemicu kenaikan ini adalah meningkatnya jumlah setengah pengangguran.
Data BPS menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di perkotaan meningkat sebesar 0,07 persen poin. Angka tersebut naik dari 6,66 persen pada September 2024 menjadi 6,73 persen pada Maret 2025. Kondisi ini mengindikasikan adanya perubahan signifikan dalam dinamika sosial ekonomi masyarakat urban.
Setengah pengangguran didefinisikan sebagai individu yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu, namun masih aktif mencari pekerjaan tambahan atau bersedia menerima pekerjaan lain. Jumlah setengah penganggur di perkotaan pada Februari 2025 tercatat meningkat sebanyak 460 ribu orang dibandingkan dengan Agustus 2024, yang turut berkontribusi pada peningkatan angka kemiskinan.
Faktor Setengah Pengangguran dan Pengaruhnya
Peningkatan jumlah setengah pengangguran menjadi sorotan utama BPS dalam analisis kenaikan kemiskinan di perkotaan. Fenomena ini mencerminkan kondisi pasar kerja yang tidak optimal, di mana banyak individu tidak dapat memperoleh pekerjaan penuh waktu yang stabil. Kondisi ini secara langsung berdampak pada pendapatan rumah tangga, sehingga mengurangi daya beli dan meningkatkan kerentanan terhadap kemiskinan.
Setengah pengangguran seringkali terjebak dalam pekerjaan informal atau pekerjaan dengan jam kerja yang tidak menentu. Meskipun mereka memiliki pekerjaan, pendapatan yang diperoleh seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Hal ini memperburuk kondisi ekonomi keluarga, terutama di tengah biaya hidup perkotaan yang cenderung tinggi.
Data menunjukkan bahwa peningkatan setengah pengangguran ini menjadi salah satu indikator penting dalam memahami kompleksitas masalah kemiskinan. Pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu mencari solusi komprehensif untuk menciptakan lapangan kerja yang layak dan stabil. Ini termasuk upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia agar dapat bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif.
Peran Pengangguran Laki-laki dan Tingkat Pendidikan
Selain setengah pengangguran, kenaikan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di kalangan laki-laki juga menjadi faktor penting. TPT laki-laki di wilayah perkotaan meningkat dari 5,87 persen pada Agustus 2024 menjadi 6,06 persen pada Februari 2025. Ateng Hartono menjelaskan bahwa laki-laki seringkali menjadi tulang punggung perekonomian keluarga, sehingga kenaikan TPT pada kelompok ini berdampak signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga dan tingkat kemiskinan.
BPS juga menemukan korelasi kuat antara tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang rendah dengan kemiskinan. Sebanyak 59,45 persen kepala rumah tangga miskin hanya menamatkan pendidikan SMP atau sederajat. Rendahnya tingkat pendidikan ini membatasi akses mereka terhadap pekerjaan yang layak dan berpenghasilan tinggi, sehingga mereka cenderung terjebak dalam sektor informal.
Sebanyak 49,01 persen kepala rumah tangga miskin bekerja di sektor informal, yang umumnya menawarkan pendapatan tidak tetap dan minim jaminan sosial. Kondisi ini memperparah kerentanan mereka terhadap guncangan ekonomi. Peningkatan akses pendidikan dan pelatihan keterampilan menjadi krusial untuk memutus rantai kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan pendidikan dan pekerjaan.
Dampak Kenaikan Harga Pangan
Faktor lain yang turut mendorong kenaikan kemiskinan di perkotaan adalah kenaikan harga sebagian besar komoditas pangan. Minyak goreng, cabai rawit, dan bawang putih adalah beberapa contoh komoditas yang mengalami kenaikan harga signifikan di pasar. Kenaikan harga ini secara langsung memengaruhi daya beli rumah tangga, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Di perkotaan, sebagian besar masyarakat tidak memproduksi bahan pangan sendiri, sehingga sangat bergantung pada harga pasar. Kenaikan harga pangan ini sangat memukul kelompok bawah dan rentan miskin. Kelompok rentan miskin, yang berada tepat di atas garis kemiskinan, sangat mudah tergelincir menjadi miskin jika daya beli mereka melemah akibat lonjakan harga barang kebutuhan pokok.
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menstabilkan harga pangan dan menjaga ketersediaan pasokan. Kebijakan yang tepat dapat melindungi daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan, dari dampak inflasi. Ini adalah upaya penting untuk mencegah lebih banyak rumah tangga jatuh ke dalam jurang kemiskinan.