DPRK Nagan Raya Desak DPRA Segera Sahkan Qanun Minerba Aceh
Ketua Komisi II DPRK Nagan Raya mendesak DPR Aceh untuk segera menyelesaikan dan mengesahkan Qanun Minerba Aceh guna mengatasi maraknya tambang ilegal dan kerusakan lingkungan di Aceh, serta memberikan keadilan ekonomi bagi rakyat Aceh.

Nagan Raya, Aceh – Ketua Komisi II DPRK Nagan Raya, Zulkarnain, mendesak DPR Aceh untuk segera menyelesaikan dan mengesahkan Qanun (Peraturan Daerah) tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) Aceh. Permintaan ini disampaikan Zulkarnain dikarenakan ancaman serius dari tambang ilegal yang merajalela di Nagan Raya dan beberapa kabupaten lainnya di Aceh.
Pembahasan Rancangan Qanun Minerba Aceh telah terkatung-katung selama beberapa tahun di DPRA. Zulkarnain menekankan urgensi pembentukan qanun ini sebagai langkah mengatasi masalah tambang ilegal yang menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Ia menjelaskan bahwa maraknya tambang ilegal ini didorong oleh minimnya penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) oleh pemerintah, sehingga masyarakat yang merasa berhak atas kekayaan alam daerahnya melakukan penambangan tanpa izin.
Akibatnya, kerusakan lingkungan meluas dan berpotensi menimbulkan bencana alam di masa mendatang karena minimnya pengawasan dan pengendalian. Lebih dari itu, tambang ilegal juga merugikan keuangan negara dan daerah akibat hilangnya potensi pendapatan dari sektor pajak dan sektor lainnya. Zulkarnain menambahkan, “Aktivitas tambang ilegal juga memicu tindak kriminal lainnya, seperti penyalahgunaan BBM bersubsidi dan berbagai persoalan lainnya.”
Sebagai solusi, Zulkarnain mengusulkan agar Pemerintah Aceh segera menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan menerbitkan IPR bagi masyarakat Aceh. DPRA juga didesak untuk menyelesaikan pembentukan Qanun Pengelolaan Minerba yang mengatur tentang IPR dan WPR. Hal ini, menurut Zulkarnain, merupakan amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kedua undang-undang tersebut menunjukkan komitmen negara dan pemerintah pusat untuk memberikan ruang ekonomi di sektor pertambangan bagi rakyat kecil. Namun, menurut Zulkarnain, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh dinilai lamban dalam menindaklanjuti amanah tersebut. Ia menilai ketidakhadiran qanun ini mencerminkan ketidakpekaan terhadap persoalan rakyat, lingkungan, dan ekonomi daerah.
Sementara itu, IUP (Izin Usaha Pertambangan) untuk perusahaan besar dari luar Aceh, seperti Jakarta dan Kalimantan, terus diterbitkan. Zulkarnain menyoroti penerbitan IUP yang terkesan sembarangan. Ia mencontohkan, “Mereka (pelaku usaha luar) mendapatkan ribuan hektare lahan tambang di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten lainnya di Aceh. Bahkan IUP yang dikeluarkan secara serampangan. Misalnya lahan perkebunan rakyat tiba-tiba di atasnya sudah keluar IUP tanpa diketahui oleh pemilik lahan, DAS sungai sudah menjadi IUP,” katanya.
Zulkarnain menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi DPRA dan Pemerintah Aceh untuk menunda pengesahan Qanun tentang Pengelolaan Pertambangan Minerba, jika benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat Aceh. Pengesahan qanun ini dinilai krusial untuk melindungi lingkungan, meningkatkan pendapatan daerah, dan menciptakan keadilan ekonomi bagi masyarakat Aceh.