Fakta Unik Panas Bumi: Pengamat UGM Sebut Dampak Lingkungan PLTP Lebih Kecil dari Pembangkit Konvensional
Pengamat UGM menegaskan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) memiliki dampak lingkungan yang jauh lebih kecil dibanding konvensional, mendukung energi bersih.

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, baru-baru ini menegaskan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) memiliki dampak lingkungan yang jauh lebih kecil. Pernyataan ini disampaikan Fahmy dalam perbandingan dengan pembangkit listrik konvensional seperti yang berbahan bakar batu bara atau gas. Hal ini menyoroti pentingnya pengembangan energi bersih di Indonesia.
Menurut Fahmy, dengan dukungan teknologi mutakhir, potensi terjadinya aktivitas seismik akibat PLTP dapat diabaikan. Getaran yang dihasilkan dari panas bumi juga sangat rendah dan bersifat lokal, sama sekali tidak berkaitan dengan aktivitas gempa bumi. Pengalaman di berbagai negara lain juga menunjukkan tidak adanya kerusakan signifikan seperti yang kerap dikhawatirkan.
Komentar ini muncul seiring dengan pengembangan PLTP di wilayah Cipanas, Kabupaten Cianjur, yang telah ditetapkan sebagai Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi Panas Bumi (WPSPE). Penetapan ini dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Keputusan Menteri Investasi/Kepala BKPM Nomor 1/1/PSPB/PMDN/2022.
Keunggulan Panas Bumi dalam Aspek Lingkungan
Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi menawarkan berbagai keunggulan signifikan dari perspektif lingkungan. Area eksplorasi yang dibutuhkan untuk proyek ini sangat terbatas, seperti di Cipanas yang hanya menggunakan 0,02 persen dari total area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Lokasi ini pun berada di zona pemanfaatan yang sebelumnya telah digunakan masyarakat sebagai lahan perkebunan sayur.
Sistem kerja energi panas bumi memanfaatkan energi alami dari dalam perut bumi untuk menghasilkan listrik melalui siklus tertutup. Hal ini menyebabkan jejak karbon yang sangat rendah, jauh lebih rendah dibandingkan pembangkit listrik yang mengandalkan bahan bakar fosil seperti batu bara atau gas. Proses ini juga tidak menggunakan air tanah dangkal, sehingga menjaga ketersediaan sumber daya air.
Lebih lanjut, pengembangan panas bumi tidak berdampak negatif pada vegetasi lokal maupun aktivitas pertanian masyarakat sekitar. Fahmy Radhi menekankan bahwa panas bumi bukan sekadar sumber energi, melainkan juga merupakan upaya konkret untuk menjaga bumi agar tetap cerdas dan berkelanjutan. Ini menunjukkan komitmen terhadap energi bersih.
Potensi Besar Panas Bumi Indonesia dan Target Nasional
Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis dalam pengembangan energi panas bumi, bahkan memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia. Meskipun demikian, kapasitas terpasang saat ini baru mencapai 2,8 gigawatt (GW), menempatkan Indonesia di posisi kedua setelah Amerika Serikat yang memiliki 3,9 GW. Potensi ini masih sangat besar untuk dimanfaatkan secara optimal.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk meningkatkan kapasitas panas bumi nasional. Target ini adalah mencapai 7,2 GW pada tahun 2030. Pengembangan ini sejalan dengan Astacita keenam, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis di dalam negeri, termasuk sektor energi terbarukan.
Jika potensi panas bumi ini dapat dimanfaatkan secara maksimal, Fahmy Radhi meyakini bahwa panas bumi akan menjadi penopang utama ketahanan energi nasional. Hal ini tidak hanya mendukung kemandirian energi, tetapi juga selaras dengan program Astacita dalam mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan. Pemanfaatan panas bumi adalah langkah penting menuju masa depan energi yang lebih hijau.