ISESS: Teror Media dan Provokasi Online, Bentuk Baru Politik Intimidasi di Indonesia
Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menilai teror terhadap media dan provokasi online terhadap Presiden sebagai bentuk baru politik intimidasi yang mengancam demokrasi Indonesia.

Jakarta, 29 Maret 2024 - Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) baru-baru ini menyatakan bahwa aksi teror terhadap media massa dan provokasi terbuka di media sosial terhadap Presiden Republik Indonesia merupakan bentuk baru dari politik intimidasi. Metode ini menggunakan kekerasan simbolik dan digital untuk mengguncang sendi-sendi demokrasi Indonesia. Peristiwa ini terjadi dalam waktu berdekatan dan menimbulkan kekhawatiran akan stabilitas politik nasional.
Co-Founder ISESS dan analis pertahanan dan keamanan, Khairul Fahmi, menjelaskan bahwa kedua peristiwa tersebut bukan sekadar kontroversi viral atau luapan emosi sesaat. Menurutnya, "Keduanya bukan sekadar kontroversi viral atau ungkapan kemarahan sesaat, tetapi bentuk nyata dari ekstremisme politik." Fahmi menekankan pentingnya melihat fenomena ini sebagai ancaman serius terhadap demokrasi Indonesia.
Fahmi berpendapat bahwa Indonesia saat ini tidak hanya menghadapi kritik tajam atau oposisi biasa. Negara menghadapi aktor-aktor ekstrem di luar sistem demokrasi yang memanfaatkan ruang digital dan keresahan publik untuk mencapai tujuan mereka. Para aktor ini, menurut Fahmi, tumbuh subur di tengah instabilitas, kebencian, dan polarisasi yang terjadi di masyarakat.
Ancaman Terhadap Kemerdekaan Pers dan Stabilitas Pemerintahan
Salah satu bentuk teror yang dimaksud adalah pengiriman kepala babi ke kantor media massa. Ini merupakan simbol kebencian yang jelas-jelas mengincar kemerdekaan pers. "Teror terhadap media, kata dia, mengancam pilar kebebasan berekspresi." Aksi ini menunjukkan upaya untuk membungkam suara kritis dan menghambat penyebaran informasi yang objektif.
Sementara itu, provokasi terbuka di media sosial terhadap Presiden, termasuk seruan "bunuh presiden", juga menjadi sorotan. Seruan ini bahkan mengaitkan iring-iringan kendaraan Presiden dengan tragedi Presiden AS John F. Kennedy. Fahmi menyatakan, "Narasi kekerasan terhadap kepala negara mengguncang legitimasi pemerintahan yang sah." Provokasi ini dirancang untuk menciptakan kekacauan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Di media sosial, para penyebar provokasi beroperasi sebagai troll dan akun anonim yang menyebarkan provokasi secara terukur. Seruan "bunuh presiden" yang dikemas dalam bentuk humor, meme, atau referensi budaya pop, menurut Fahmi, bukan sekadar satire. Ini merupakan simulasi kekerasan politik yang dirancang untuk viral, membentuk opini publik, dan memancing reaksi keras dari negara.
Tujuan Kelompok Ekstrem: Merusak dari Dalam
Khairul Fahmi menjelaskan bahwa kelompok ekstrem memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk melemahkan sistem dari dalam. Mereka mungkin tidak bertujuan untuk mengganti pemerintahan, tetapi jelas ingin merusak sistem demokrasi. Caranya adalah dengan mendorong masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap media, negara, dan demokrasi itu sendiri.
Fahmi menekankan pentingnya mengungkap dan menindak pelaku teror dan provokasi. "Keduanya harus segera diungkap dan ditindak, karena jika dibiarkan akan menjadi preseden buruk yang melemahkan pilar demokrasi kita," tegasnya. Ia menambahkan bahwa penegakan hukum merupakan keharusan, tetapi masyarakat juga membutuhkan ketegasan moral untuk menolak intimidasi dan ekstremisme.
Demokrasi, menurut Fahmi, hanya akan bertahan jika masyarakat menjaga ruang demokrasi tetap sehat dan bebas dari teror dan kebencian. Menjaga demokrasi bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat. "Karena kalau kita membiarkan ekstremisme berkembang di pinggiran demokrasi, maka pelan-pelan demokrasi itu sendiri akan runtuh, bukan karena kekuasaan otoriter, tapi karena kebisuan kita atas kekerasan yang dibiarkan," tutup Fahmi.