Ancaman Pembunuhan Presiden di Media Sosial: Direktur IPR Sorot Potensi Gangguan Stabilitas Politik
Direktur Indonesia Political Review (IPR) menyoroti ancaman pembunuhan terhadap Presiden Prabowo Subianto di media sosial, yang dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas politik nasional.

Direktur Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan, menyoroti seruan ancaman pembunuhan terhadap Presiden RI Prabowo Subianto yang beredar di platform X. Ancaman ini muncul sebagai reaksi kontra terhadap pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) baru. Pernyataan ancaman tersebut disampaikan oleh beberapa warganet, dan menurut Iwan, hal ini bukan hanya tindakan kriminal biasa, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap stabilitas politik nasional. Ancaman ini terjadi setelah DPR RI menyetujui RUU TNI menjadi UU pada 20 Maret 2025.
Iwan Setiawan menjelaskan, "Dampak politik ancaman pembunuhan presiden dapat sangat signifikan dan berpotensi mengganggu stabilitas politik suatu negara, bisa memicu kerusuhan terutama jika ancaman tersebut dianggap serius." Ia menekankan pentingnya penanganan serius terhadap ancaman ini untuk mencegah eskalasi menjadi krisis politik yang lebih besar. Menurutnya, jika dibiarkan, hal ini dapat memicu tindakan-tindakan ekstrem lainnya dari pihak-pihak yang merasa frustrasi.
Berbagai pasal hukum dapat menjerat para pelaku penyebaran ancaman ini. Pasal-pasal tersebut meliputi Pasal 218 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran ujaran kebencian dan ancaman kekerasan, Pasal 160 KUHP tentang penghasutan melawan penguasa, serta Pasal 369 KUHP tentang pengancaman. IPR mendesak penegak hukum untuk segera menindak tegas para pelaku agar memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
UU TNI Baru dan Potensi Konflik
Pengesahan UU TNI baru telah memicu berbagai reaksi, termasuk ancaman pembunuhan terhadap Presiden yang dibahas di atas. UU TNI yang baru disahkan ini mengatur tentang penugasan prajurit TNI di sejumlah lembaga pemerintahan. Pasal 47 UU TNI mengatur bahwa prajurit TNI dapat mengisi jabatan di BNPB, BNPP, BNPT, Bakamla, dan Kejagung.
Data Mabes TNI per Februari 2025 menunjukkan jumlah prajurit TNI yang bertugas di lembaga-lembaga tersebut. Terdapat dua prajurit TNI di BNPB, 12 di BNPP, 18 di BNPT, 129 di Bakamla, dan 19 di Kejagung. Penempatan prajurit TNI di berbagai instansi ini bertujuan untuk mendukung tugas-tugas pemerintahan, namun juga memicu perdebatan dan kekhawatiran dari sebagian kalangan masyarakat.
Perlu ditekankan bahwa penempatan prajurit TNI ini diatur dalam koridor hukum yang berlaku, dan diharapkan dapat berjalan sesuai dengan aturan dan etika yang telah ditetapkan. Transparansi dan akuntabilitas dalam penempatan prajurit TNI di instansi sipil sangat penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang dan menjaga kepercayaan publik.
Kehadiran prajurit TNI di instansi sipil ini perlu dikaji secara mendalam untuk memastikan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan tidak menghambat kinerja instansi sipil. Mekanisme pengawasan yang ketat juga diperlukan untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang dan memastikan prajurit TNI menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ancaman Terhadap Presiden: Tindakan Hukum dan Dampak Politik
Ancaman pembunuhan terhadap Presiden Prabowo Subianto merupakan tindakan kriminal serius yang tidak dapat diabaikan. Hal ini bukan hanya melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia, tetapi juga berpotensi mengancam stabilitas politik dan keamanan nasional. Oleh karena itu, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan adil.
Selain aspek hukum, ancaman ini juga memiliki dampak politik yang signifikan. Ancaman tersebut dapat merusak iklim demokrasi, menimbulkan keresahan di masyarakat, dan bahkan memicu konflik sosial. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk menjaga kondusifitas politik dan menghindari tindakan-tindakan yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya ancaman serupa di masa mendatang. Peningkatan literasi digital dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya berekspresi secara bertanggung jawab di media sosial sangat diperlukan. Selain itu, peran media massa dalam menyajikan informasi yang akurat dan berimbang juga sangat penting untuk mencegah penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian.
Kebebasan berekspresi dijamin oleh konstitusi, namun kebebasan tersebut tetap memiliki batasan. Ancaman pembunuhan terhadap Presiden jelas merupakan tindakan yang melewati batas dan tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu untuk melindungi keamanan dan stabilitas negara.
Peristiwa ini menjadi pengingat pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban di ruang digital. Semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan platform media sosial, harus berperan aktif dalam menciptakan ruang digital yang aman, damai, dan bertanggung jawab.