Pakar: Media Sosial, Ilusi Demokrasi atau Alat Propaganda?
Prof. Merlyna Lim ungkapkan media sosial tak selalu sejalan dengan demokrasi, algoritma justru dimanfaatkan untuk manipulasi politik dan polarisasi.

Semarang, 7 Mei 2024 - Sebuah kuliah umum di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang mengungkap sisi gelap media sosial (medsos) yang selama ini kerap dianggap sebagai pendukung demokrasi. Prof. Merlyna Lim, pakar ilmu komunikasi dari Carleton University, Kanada, dalam peluncuran buku terbarunya, 'Social Media and Politics in Southeast Asia', mengingatkan bahwa medsos, kenyataannya, tidak selalu sejalan dengan kebebasan berpikir dan perkembangan demokrasi. Pernyataan ini mengejutkan, mengingat anggapan umum yang selama ini berkembang.
Prof. Lim menjelaskan, anggapan awal yang menyatakan medsos sebagai media egaliter yang meningkatkan partisipasi politik hanyalah ilusi. "Di awal (medsos) yang digambarkan egaliter, itu ilusi. Medsos diciptakan untuk kapitalisme, dengan monetisasi data dan dominasi 'market'," tegasnya. Sistem algoritma yang dirancang untuk efisiensi dan jangkauan konsumen, justru dimanfaatkan dalam dunia politik, berdampak signifikan pada iklim demokrasi.
Lebih lanjut, Prof. Lim menekankan bahwa algoritma medsos tidak mengajarkan berpikir kritis. Sistem ini justru mementingkan emosi dan rasa, sehingga dengan mudah memicu polarisasi masyarakat. "(Algoritma, red.) Itu menyederhanakan market, cuma peduli yang 'ngefans' sama benci. Jadi, medsos dipolitisasi mengadopsi cara yang sama. Karena 'user'-nya kan sama, manusianya sama," jelasnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan manipulasi opini publik dan penguatan sentimen negatif.
Algoritma dan Manipulasi Citra Politik
Prof. Lim memaparkan fenomena 'algorithmic white branding', yaitu manipulasi citra dengan memainkan emosi masyarakat untuk mencuci citra tokoh politik atau figur publik. "Para 'political figure' dan kandidat yang punya masa lalu yang suram, abu-abu, gelap, bahkan berdarah kemudian diciptakan (citra) secara baru dan ini ternyata efektif," jelasnya. Contohnya terlihat jelas pada Pilpres Filipina, di mana politik kegembiraan menyasar generasi Z yang minim literasi sejarah, terbukti efektif.
Metode ini, menurutnya, tak hanya terjadi di Filipina, tetapi juga di Indonesia, Kamboja, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. "Cara semacam itu digunakan bukan cuma di Filipina, tetapi juga Indonesia, Kamboja, Thailand, dan negara-negara di Asia Tenggara. Mitigasinya ya dengan literasi ya, algoritma itu kerjanya seperti apa? Sudah saatnya dari SD, SMP, SMA itu belajar," imbuhnya. Prof. Lim menekankan pentingnya literasi digital sejak dini sebagai upaya mitigasi.
Sebagai pembicara lainnya, Wakil Rektor Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Undip, Wijayanto, Ph.D, mengamini hal tersebut. Ia menyatakan bahwa dampak medsos terhadap demokrasi berubah seiring waktu. Pada periode 1998-2008, medsos cenderung memperkuat demokrasi, namun dalam 10 tahun terakhir, trennya justru menunjukkan represif dan propaganda. Ia mencontohkan teror melalui medsos sebagai bentuk 'digital repression' yang dialami pegiat sipil.
Literasi Digital, Kunci Demokrasi Sehat
Sementara itu, Dr. Nurul Hasfi menambahkan bahwa buku Prof. Lim dapat menjadi alat kontrol bagi elite politik dan perusahaan marketing politik, serta rujukan bagi pegiat literasi digital. Buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi terciptanya proses demokrasi digital yang lebih sehat.
Kesimpulannya, kuliah umum ini menyoroti pentingnya literasi digital dalam menghadapi tantangan demokrasi di era media sosial. Algoritma yang dirancang untuk efisiensi, ternyata dapat dimanfaatkan untuk manipulasi politik dan polarisasi. Oleh karena itu, peningkatan literasi digital sejak usia dini menjadi kunci untuk menciptakan proses demokrasi yang lebih sehat dan berkelanjutan.