Kejati Maluku Hentikan Penuntutan Kasus Penganiayaan Lewat Keadilan Restoratif
Kejaksaan Tinggi Maluku menghentikan penuntutan kasus penganiayaan di Maluku Tengah melalui keadilan restoratif setelah tercapai perdamaian antara korban dan tersangka.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku menorehkan sejarah baru dalam penegakan hukum. Pada Jumat, 7 Juli 2023, Kejati Maluku menghentikan penuntutan perkara penganiayaan yang melibatkan tersangka berinisial AI alias Toni dan korban, Raja Negeri Layeni, Roy Marthen Tewernussa. Penghentian penuntutan ini dilakukan melalui mekanisme keadilan restoratif, sebuah langkah inovatif yang mengedepankan perdamaian dan pemulihan hubungan antara pelaku dan korban.
Peristiwa penganiayaan bermula dari kesalahpahaman antara tersangka Toni dan korban, Raja Negeri Layeni, yang berujung pada cekcok dan kekerasan fisik. Kasus ini kemudian dilaporkan ke Polsek Waipia, Polres Maluku Tengah, dan berlanjut ke Kejaksaan Negeri Maluku Tengah (Kejari Malteng).
Namun, alih-alih melanjutkan proses hukum secara konvensional, Kejari Malteng mengambil pendekatan berbeda dengan mengusulkan penghentian penuntutan melalui keadilan restoratif. Langkah ini didasarkan pada semangat untuk memulihkan hubungan yang rusak dan memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik secara damai.
Proses Perdamaian dan Keadilan Restoratif
Tim Restorasi Justice Kejari Malteng memfasilitasi pertemuan antara tersangka Toni, korban Raja Negeri Layeni, keluarga mereka, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan saksi korban di Gereja Baptis jalan Waipia. Proses mediasi ini akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan: tercapainya perdamaian tanpa syarat.
Raja Negeri Layeni, dengan lapang dada, memaafkan tersangka Toni tanpa menuntut ganti rugi. Perdamaian ini disaksikan oleh Kasi Pidum Fitria Tuahuns selaku jaksa fasilitator, penyidik kepolisian, keluarga, dan masyarakat setempat. Keberhasilan ini menunjukkan kekuatan keadilan restoratif dalam menyelesaikan konflik secara efektif dan humanis.
Kajari Malteng, Nur Akhirman, didampingi Kasi Pidum Fitria Tuahuns dan jaksa fungsional, kemudian mengajukan permohonan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kejati Maluku melalui video conference. Permohonan tersebut selanjutnya diteruskan ke Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Pertimbangan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum
Jampidum Asep Nana Mulyana dan Tim Restorative Justice-nya mempertimbangkan usulan tersebut dengan cermat. Mereka memastikan bahwa persyaratan perdamaian dan penerapan Pasal 5 ayat (1) telah terpenuhi. Syarat tersebut meliputi: tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana penjara di bawah lima tahun, dan nilai kerugian tidak lebih dari Rp2.500.000.
Setelah melalui proses evaluasi yang teliti, Jampidum akhirnya menyetujui penghentian penuntutan perkara penganiayaan ini berdasarkan keadilan restoratif. Keputusan ini menandai keberhasilan penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan Indonesia, memberikan solusi yang lebih manusiawi dan efektif dalam menyelesaikan konflik.
Proses ini menunjukkan komitmen Kejaksaan Agung dan Kejati Maluku dalam memberikan akses keadilan yang lebih luas dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Keadilan restoratif bukan hanya sekadar menghentikan proses hukum, tetapi juga membangun kembali hubungan yang harmonis dan memulihkan rasa keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Dengan demikian, kasus penganiayaan ini menjadi contoh nyata bagaimana keadilan restoratif dapat menjadi alternatif yang efektif dan humanis dalam menyelesaikan konflik, khususnya dalam kasus-kasus yang memenuhi kriteria tertentu. Hal ini diharapkan dapat menginspirasi penerapan keadilan restoratif di berbagai wilayah Indonesia.