Kejati Sumbar Hentikan Penuntutan Penyalahgunaan Narkoba dengan Keadilan Restoratif
Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menghentikan penuntutan kasus penyalahgunaan narkoba terhadap YR dengan pendekatan keadilan restoratif, mewajibkan rehabilitasi selama tiga bulan.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat menghentikan penuntutan kasus penyalahgunaan narkoba terhadap seorang pemuda berinisial YR di Padang. Keputusan ini diambil melalui pendekatan keadilan restoratif, sebuah metode yang mengedepankan rehabilitasi daripada hukuman penjara. YR, warga Kecamatan Kuranji, Kota Padang, yang berusia 25 tahun, terbukti menggunakan narkoba jenis sabu, namun tidak terlibat dalam jaringan peredaran gelap narkotika. Proses ini menandai langkah progresif dalam penanganan kasus narkoba di Sumatera Barat.
Kepala Kejati Sumbar, Yuni Daru Winarsih, menjelaskan bahwa penghentian penuntutan ini telah disetujui oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung RI. Dengan pendekatan keadilan restoratif, YR terbebas dari proses persidangan di pengadilan. Sebagai gantinya, ia diwajibkan menjalani rehabilitasi selama tiga bulan penuh. Keputusan ini diambil setelah melalui proses pengkajian dan penelaahan yang cermat oleh Kejati Sumbar, memastikan YR memenuhi syarat pedoman tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika.
Proses ini menekankan asas Dominus Litis Jaksa, di mana Jaksa memiliki kewenangan penuh dalam menentukan arah penanganan perkara. Beberapa faktor yang mendukung penerapan keadilan restoratif pada kasus YR antara lain: penggunaan sabu dalam pola sedang, tidak terindikasi terlibat jaringan peredaran gelap, belum pernah dipenjara atau direhabilitasi sebelumnya, dan memiliki perilaku baik di lingkungan sekitar. Profiling yang dilakukan Kejati juga menunjukkan bahwa YR berkelakuan baik dan orang tuanya tidak mengetahui penyalahgunaan narkoba yang dilakukannya. YR mengaku membeli sabu seharga Rp40.000 dari seorang temannya yang berstatus buronan.
Proses Rehabilitasi dan Keadilan Restoratif
Penerapan keadilan restoratif dalam kasus YR menandai sebuah perubahan paradigma dalam penanganan kasus narkoba. Alih-alih fokus pada hukuman penjara, pendekatan ini lebih menekankan pada rehabilitasi dan pemulihan bagi penyalahguna. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengurangi dampak negatif penyalahgunaan narkoba, khususnya bagi pengguna yang tidak terlibat dalam jaringan peredaran gelap. Proses rehabilitasi selama tiga bulan diharapkan dapat membantu YR pulih dari ketergantungan narkoba dan kembali berintegrasi ke masyarakat.
Kejati Sumbar juga memastikan bahwa keputusan ini bebas dari kepentingan transaksional dan telah melalui proses yang profesional. Hal ini penting untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci keberhasilan penerapan keadilan restoratif dalam penanganan kasus-kasus serupa di masa mendatang.
Proses rehabilitasi yang akan dijalani YR akan diawasi secara ketat untuk memastikan keberhasilannya. Kejati Sumbar akan berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Sumbar untuk memantau perkembangan dan memberikan dukungan yang diperlukan. Keberhasilan program rehabilitasi ini akan menjadi tolok ukur bagi penerapan keadilan restoratif dalam kasus-kasus penyalahgunaan narkoba di masa mendatang.
Profil Tersangka dan Latar Belakang Kasus
YR, sebagai pengguna narkoba yang membeli sabu dari seorang buronan, merupakan contoh kasus yang tepat bagi penerapan keadilan restoratif. Statusnya sebagai pengguna akhir (end user) dan bukan bagian dari jaringan peredaran gelap menjadi pertimbangan utama. Fakta bahwa ia baru pertama kali mengonsumsi sabu pada tahun 2023 dan memiliki perilaku baik di lingkungan sekitar juga mendukung penerapan pendekatan ini. Proses profiling yang dilakukan oleh Kejati Sumbar memastikan bahwa keputusan ini didasarkan pada data dan fakta yang akurat.
Informasi mengenai pembelian sabu seharga Rp40.000 dari seorang buronan memberikan gambaran tentang akses mudah terhadap narkoba di lingkungan sekitar YR. Hal ini juga menjadi perhatian bagi pihak berwenang untuk mencegah peredaran narkoba lebih lanjut. Namun, fokus utama dalam kasus ini tetap pada rehabilitasi YR, bukan pada penuntutan hukum yang mungkin justru memperburuk kondisinya.
Ketiadaan pengetahuan orang tua YR tentang penyalahgunaan narkoba yang dilakukan anaknya juga menjadi faktor penting yang dipertimbangkan. Hal ini menunjukkan perlunya edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif kepada masyarakat mengenai bahaya narkoba dan pentingnya peran keluarga dalam mencegah penyalahgunaan narkoba.
Pernyataan Kepala Kejati Sumbar yang menegaskan bahwa permohonan penghentian penuntutan dilakukan secara profesional dan bebas dari kepentingan transaksional, menunjukkan komitmen Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat dalam menegakkan hukum secara adil dan proporsional.
Keberhasilan program rehabilitasi YR akan menjadi contoh nyata bagaimana keadilan restoratif dapat memberikan solusi yang lebih efektif dalam menangani kasus penyalahgunaan narkoba, khususnya bagi pengguna yang tidak terlibat dalam jaringan peredaran gelap. Ini juga menjadi langkah penting dalam membangun sistem peradilan yang lebih humanis dan restorative.