Kekurangan Zat Besi pada Balita: Ancaman yang Perlu Diperhatikan
Dokter spesialis anak menyoroti pentingnya pemenuhan zat besi pada balita usia 6-24 bulan untuk mencegah kekurangan mikronutrien dan anemia.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Dokter spesialis anak, Dr. dr. T.B Rachmat Sentika, SpA, MARS, dalam seminar kesehatan di Jakarta pada Jumat, 16 Mei, menyoroti tingginya risiko kekurangan mikronutrien, khususnya zat besi, pada balita Indonesia usia 6-24 bulan. Kekurangan zat besi pada usia ini sangat mengkhawatirkan karena dapat berdampak serius pada perkembangan anak. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian lebih dari orang tua dan tenaga kesehatan untuk memastikan pemenuhan zat besi pada balita.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh data yang menunjukkan tingginya angka risiko Anemia Defisiensi Besi (ADB) pada balita Indonesia. Satu dari tiga balita berisiko mengalami ADB, sebuah fakta yang tidak bisa diabaikan. Pentingnya pencegahan dan penanganan ADB ini menjadi perhatian bersama, termasuk dari organisasi perempuan seperti 'Aisyiyah yang berkomitmen untuk mengatasi masalah ini.
Dokter Rachmat Sentika menekankan pentingnya peran orang tua dalam memberikan asupan makanan bergizi seimbang kepada anak. Ia juga menyarankan agar orang tua memberikan makanan yang telah difortifikasi, yaitu makanan yang diperkaya dengan vitamin dan zat gizi mikro, termasuk zat besi. Hal ini penting karena tubuh tidak dapat memproduksi mikronutrien sendiri, sehingga harus diperoleh dari makanan.
Pentingnya Pemenuhan Zat Besi pada Balita
Dokter Rachmat Sentika menjelaskan bahwa pemenuhan zat besi tidak hanya penting bagi remaja putri dan ibu hamil, tetapi juga sangat krusial bagi balita, terutama pada usia 6-24 bulan. Pada usia ini, balita sangat rentan terhadap kekurangan mikronutrien. Oleh karena itu, perhatian terhadap asupan zat besi pada balita harus ditingkatkan.
Ia menyarankan orang tua untuk memberikan makanan yang difortifikasi kepada anak-anak mereka. Makanan fortifikasi mengandung tambahan vitamin, mineral, dan zat gizi mikro lainnya yang dibutuhkan tubuh. Dengan mengonsumsi makanan fortifikasi, kebutuhan zat besi dan nutrisi penting lainnya pada balita dapat terpenuhi.
Berbagai jenis makanan fortifikasi tersedia dan dapat menjadi sumber pemenuhan gizi anak. Informasi mengenai makanan kaya gizi ini telah tersedia dalam buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) yang biasanya dibawa ke Posyandu. Buku KIA tidak hanya berisi informasi tentang tinggi dan berat badan, tetapi juga panduan tentang makanan bergizi untuk ibu hamil dan balita.
Ancaman Anemia Defisiensi Besi (ADB) pada Balita
Wakil Ketua Majelis Kesehatan PP 'Aisyiyah, Chairunnisa, mengungkapkan keprihatinan atas tingginya angka risiko ADB pada balita di Indonesia. Angka satu dari tiga balita berisiko mengalami ADB merupakan angka yang sangat mengkhawatirkan dan membutuhkan perhatian serius.
Chairunnisa menekankan bahwa masalah ADB tidak boleh dibiarkan begitu saja dan harus menjadi perhatian bersama. 'Aisyiyah, sebagai organisasi perempuan yang fokus pada isu kesehatan, berkomitmen untuk membantu mengatasi masalah ADB ini.
Sebagai penggerak di masyarakat, 'Aisyiyah menyadari pentingnya kepedulian untuk mencegah dan mengatasi ADB agar tidak terus berlanjut. Mereka aktif dalam memberikan edukasi dan dukungan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pemenuhan zat besi pada balita.
Kesimpulan: Pemenuhan zat besi pada balita usia 6-24 bulan sangat penting untuk mencegah kekurangan mikronutrien dan risiko Anemia Defisiensi Besi (ADB). Orang tua perlu memperhatikan asupan makanan bergizi seimbang, termasuk makanan fortifikasi, untuk memastikan pertumbuhan dan perkembangan balita yang optimal. Perhatian dan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk tenaga kesehatan dan organisasi masyarakat, sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini.