Kenaikan Kasus Perkawinan Anak di Bali Tahun 2024: KPAD Ungkap Fakta Mengejutkan
KPAD Bali melaporkan peningkatan signifikan kasus perkawinan anak di tahun 2024, mencapai 368 kasus, didominasi Buleleng dan melibatkan anak di bawah 14 tahun, memicu kekhawatiran dampak buruk bagi masa depan anak.

Kenaikan Kasus Perkawinan Anak di Bali menjadi sorotan setelah Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Bali merilis data mengejutkan. Sepanjang tahun 2024, tercatat 368 kasus perkawinan anak, meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 335 kasus. Data ini diperoleh dari pengajuan dispensasi kawin di pengadilan negeri dan agama di seluruh Bali.
Ketua KPAD Bali, Ni Luh Gede Yastini, mengungkapkan keprihatinannya atas peningkatan ini. "Kalau tahun sebelumnya perkawinan anak itu ada 335 di Provinsi Bali, tahun 2024 ini meningkat menjadi 368," ujarnya dalam keterangan pers di Denpasar, Minggu (19/1).
Distribusi Kasus Perkawinan Anak di Bali menunjukkan disparitas yang cukup signifikan antar kabupaten/kota. Kabupaten Buleleng menempati posisi tertinggi dengan 140 kasus, diikuti Jembrana (51 kasus), Bangli (45 kasus), Karangasem (44 kasus), Klungkung (27 kasus), Denpasar (19 kasus), Tabanan (18 kasus), Gianyar (14 kasus), dan Badung (3 kasus).
Yang lebih mengkhawatirkan, sejumlah kasus melibatkan anak berusia di bawah 14 tahun. "Ada empat anak yang mengajukan dispensasi kawin di usia di bawah 14 tahun, dan pasangan mereka rata-rata berusia di atas 20 tahun," ungkap Yastini. Kondisi ini menjadi perhatian serius karena berpotensi melegalkan tindakan pidana persetubuhan terhadap anak.
Dampak Buruk Perkawinan Anak terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan anak sangat signifikan. Perkawinan dini dapat menyebabkan anak putus sekolah, mengalami kesulitan dalam mengasuh anak, serta meningkatkan risiko stunting dan kematian ibu dan anak. Lingkaran kemiskinan pun akan sulit diputus karena minimnya kesempatan dan keterampilan akibat kurangnya pendidikan.
Selain itu, risiko perceraian dan penelantaran anak juga meningkat. "Perceraian bisa terjadi, penelantaran anak juga, berarti ada dua anak yang terlantar, ibu yang berusia anak-anak dan anak yang memang masih kecil," tambah Yastini.
Tantangan dalam Penanganan Perkawinan Anak di Bali dihadapkan pada adat istiadat yang terkadang memberikan izin pernikahan adat sebelum proses hukum di pengadilan. Hal ini menyulitkan upaya untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur.
KPAD Bali mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan program pencegahan perkawinan anak. Upaya menekan angka perkawinan anak di tahun 2025 dan seterusnya menjadi krusial untuk melindungi hak-hak anak dan masa depan mereka. Perlu adanya edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif kepada masyarakat tentang bahaya perkawinan anak dan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.