Presiden Pegang Kunci Pencopotan Pimpinan KPK: Tafsir Hukum dan Revisi Tata Tertib DPR
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menegaskan hanya Presiden yang berwenang mencopot pimpinan KPK sesuai UU, membantah wewenang DPR berdasarkan revisi Tata Tertib mereka.
Jakarta, 6 Februari 2024 - Polemik terkait wewenang pencopotan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mencuat. Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, dengan tegas menyatakan bahwa hanya Presiden yang memiliki kewenangan tersebut, sesuai dengan landasan hukum yang berlaku. Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang dinilai oleh beberapa pihak dapat menimbulkan interpretasi berbeda.
Landasan Hukum yang Jelas
Johanis Tanak menekankan bahwa pengangkatan dan pemberhentian pimpinan KPK diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. "Betul, tapi Surat Keputusan Pemberhentiannya harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2019 yang mengatur mengenai Syarat Pemberhentian Pimpinan KPK," tegas Tanak dalam konfirmasi di Jakarta, Kamis lalu. Ia menambahkan bahwa hal ini juga sejalan dengan prinsip Hukum Administrasi Negara.
Lebih lanjut, Tanak menjelaskan bahwa berdasarkan Hukum Administrasi Negara, surat keputusan pemberhentian pejabat hanya dapat dikeluarkan oleh lembaga yang mengangkat pejabat tersebut. Dengan demikian, kewenangan untuk memberhentikan pimpinan KPK tetap berada di tangan Presiden, bukan DPR. "Kalau ditinjau dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara, Surat Keputusan Pemberhentian Pejabat hanya dapat dilakukan oleh pejabat dari lembaga yang mengangkat pejabat tersebut," ujarnya.
Revisi Tata Tertib DPR dan Implikasinya
Revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020, yang disepakati pada Selasa (4/2), menambahkan Pasal 228A ayat (1) dan (2). Pasal baru ini mengatur kewenangan DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat yang telah mereka tetapkan, termasuk pimpinan KPK. Hasil evaluasi tersebut bahkan dinyatakan mengikat.
Pasal 228A ayat (1) berbunyi: 'Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR'. Sementara itu, Pasal 228A ayat (2) berbunyi: 'Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku'.
Meskipun DPR memiliki kewenangan evaluasi, Tanak menegaskan bahwa hal ini tidak mengubah landasan hukum terkait pemberhentian pimpinan KPK. Evaluasi tersebut tidak otomatis berujung pada pencopotan. Proses pencopotan tetap harus mengikuti ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan mekanisme hukum yang berlaku.
Putusan PTUN dan Implikasi Hukum
Tanak juga menyinggung kemungkinan adanya gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia menjelaskan bahwa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, surat keputusan pengangkatan pejabat dapat dibatalkan oleh PTUN jika ada pihak yang merasa dirugikan. Hal ini menunjukkan kompleksitas hukum yang terkait dengan pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik, termasuk pimpinan KPK.
Dengan demikian, meskipun DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi, kewenangan untuk memberhentikan pimpinan KPK tetap berada di tangan Presiden. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan prinsip-prinsip Hukum Administrasi Negara. Pernyataan Tanak ini memberikan kejelasan hukum di tengah munculnya interpretasi berbeda terkait revisi Tata Tertib DPR.
Kesimpulan
Pernyataan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak memberikan kejelasan hukum terkait polemik pencopotan pimpinan KPK. Hanya Presiden yang memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut, sesuai dengan UU dan Hukum Administrasi Negara. Revisi Tata Tertib DPR memberikan kewenangan evaluasi, namun tidak mengubah landasan hukum terkait pemberhentian pimpinan KPK. Kejelasan hukum ini penting untuk menjaga integritas dan independensi KPK.