Revisi Tatib DPR: Pakar Nilai DPR Salah Kaprah, Berpotensi Langgar UU
Mantan Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menilai revisi tata tertib DPR yang mengatur evaluasi pejabat, termasuk Kapolri, salah kaprah dan berpotensi melanggar UU karena kewenangan tersebut berada di bawah Presiden.
![Revisi Tatib DPR: Pakar Nilai DPR Salah Kaprah, Berpotensi Langgar UU](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/09/110019.256-revisi-tatib-dpr-pakar-nilai-dpr-salah-kaprah-berpotensi-langgar-uu-1.jpg)
Jakarta, 9 Februari 2024 - Revisi tata tertib (tatib) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengatur evaluasi pejabat, termasuk Kapolri, menuai kritik dari berbagai pihak. Poengky Indarti, mantan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), menilai revisi tersebut sebagai langkah yang salah kaprah dan berpotensi melanggar hukum.
Poengky Indarti, yang juga pemerhati kepolisian, menyatakan keprihatinannya atas revisi tatib DPR. Dalam keterangannya pada Minggu, ia menegaskan bahwa tatib DPR bersifat internal dan tidak bisa mengikat pihak eksternal. "Bagaimana mungkin tatib DPR bisa mengikat pihak luar? Tatib kan sifatnya internal dan hanya mengikat internal DPR," ujarnya.
Kewenangan DPR dan Batas-batasnya
Poengky menjelaskan bahwa revisi tatib yang memberikan kewenangan DPR untuk mengevaluasi pejabat negara, termasuk Kapolri, berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-undang tersebut secara tegas menyatakan bahwa Kapolri berada di bawah Presiden, sehingga pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan wewenang Presiden.
Ia menekankan bahwa fungsi pengawasan DPR seharusnya berada pada tataran check and balances, bukan sampai pada pencopotan pejabat. "Sebagai lembaga perwakilan rakyat, fungsi pengawasan DPR seharusnya berada pada tataran periksa dan timbang (check and balances) sehingga tidak bisa diperluas menjadi pencopotan pejabat," tegasnya.
Lebih lanjut, Poengky khawatir revisi tatib ini dapat membuka peluang praktik transaksional antara DPR dan pejabat. "Hal ini justru dapat menciptakan relasi yang koruptif, bukan relasi pengawasan yang efektif," imbuhnya.
Reformasi Struktural Polri dan Kewenangan Presiden
Poengky juga mengingatkan bahwa reformasi struktural Polri telah menegaskan posisi Polri di bawah Presiden. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi DPR untuk mencopot Kapolri. "Jika dipaksakan berlaku, hal tersebut berarti menunjukkan DPR melakukan intervensi terhadap kewenangan Presiden. Bahkan, sepengetahuan saya, dalam mengangkat dan memberhentikan Kapolri, seharusnya Presiden dapat melaksanakan tanpa harus mendapatkan persetujuan DPR," jelasnya.
Ia mengakui bahwa pada masa awal reformasi, DPR diberi kewenangan untuk memberikan persetujuan dalam pengangkatan Kapolri karena kebutuhan pengawasan yang lebih besar untuk mencegah penyelewengan seperti pada masa Orde Baru. Namun, ia berharap, seiring dengan keberhasilan reformasi Polri, kewenangan persetujuan DPR tersebut dapat dihapus.
"Nantinya ketika reformasi Polri sudah dianggap benar-benar berhasil, kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan akan dapat dihapus," kata Poengky.
Isi Revisi Tata Tertib DPR
Revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang disepakati pada Selasa (4/2) memuat penyisipan Pasal 228A ayat (1) dan (2). Pasal 228A ayat (1) berbunyi: 'Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR'.
Sementara itu, Pasal 228A ayat (2) berbunyi: 'Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku'.
Pernyataan Poengky Indarti ini menjadi sorotan penting terkait pembagian kewenangan dan potensi konflik antara lembaga negara. Perdebatan mengenai revisi tatib DPR ini diharapkan dapat mendorong diskusi yang lebih luas dan mendalam untuk memastikan prinsip-prinsip demokrasi dan hukum tetap terjaga.