Ketua MKMK Pertanyakan Revisi Tata Tertib DPR: Batas Kewenangan dan UUD 1945
Ketua MKMK, I Dewa Gede Palguna, mempertanyakan revisi tata tertib DPR yang memungkinkan evaluasi hakim konstitusi, menganggapnya melanggar prinsip hukum ketatanegaraan dan UUD 1945.
![Ketua MKMK Pertanyakan Revisi Tata Tertib DPR: Batas Kewenangan dan UUD 1945](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/05/220150.519-ketua-mkmk-pertanyakan-revisi-tata-tertib-dpr-batas-kewenangan-dan-uud-1945-1.jpg)
Jakarta, 5 Februari 2024 - Polemik mengemuka terkait revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna, melontarkan kritik tajam atas keputusan DPR yang memasukkan pasal baru yang memungkinkan evaluasi terhadap pejabat negara yang ditetapkan dalam rapat paripurna, termasuk hakim konstitusi.
Dalam wawancara dengan wartawan pada Rabu, Palguna menyatakan kebingungannya atas dasar hukum revisi tersebut. "Ini tidak perlu Ketua MKMK yang jawab, cukup mahasiswa hukum semester tiga. Dari mana ilmunya ada tata tertib bisa mengikat ke luar?" ujarnya, mempertanyakan landasan hukum DPR dalam melakukan evaluasi tersebut.
Pertanyaan Mendalam tentang Hukum Ketatanegaraan
Palguna mempertanyakan pemahaman DPR terhadap prinsip-prinsip dasar hukum ketatanegaraan. Ia mempertanyakan, "Masa DPR tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat norma hukum? Masa DPR tak mengerti teori kewenangan? Masa DPR tidak mengerti teori pemisahan kekuasaan dan checks and balances (periksa dan timbang)?" Pertanyaan-pertanyaan retoris ini menyoroti kekhawatirannya terhadap potensi pelanggaran prinsip dasar hukum dan konstitusi.
Lebih lanjut, Palguna menilai revisi tata tertib tersebut sebagai indikasi ketidakpatuhan DPR terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). "Jika mereka (DPR) mengerti, tetapi tetap juga melakukan, berarti mereka tidak mau negeri ini tegak di atas hukum dasar (UUD 1945), tetapi di atas hukum yang mereka suka dan maui dan mengamankan kepentingannya sendiri," tegasnya.
Pasal Baru yang Menuai Kontroversi
Revisi tersebut menambahkan Pasal 228A ayat (1) dan (2) yang berbunyi: "Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR" dan "Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku"
Dengan penambahan pasal ini, DPR berwenang mengevaluasi pejabat negara yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna, termasuk hakim konstitusi dan pimpinan KPK. Hasil evaluasi yang bersifat mengikat ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi intervensi dan pengaruh politik terhadap lembaga-lembaga negara independen.
Implikasi dan Kekhawatiran
Keputusan DPR ini menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya prinsip checks and balances dan potensi penyalahgunaan wewenang. Evaluasi yang bersifat mengikat terhadap hakim konstitusi, misalnya, dapat berdampak pada independensi Mahkamah Konstitusi dan mengganggu jalannya proses penegakan hukum. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana DPR memahami dan menghormati prinsip pemisahan kekuasaan yang dijamin oleh UUD 1945.
Pernyataan Ketua MKMK ini menjadi sorotan penting dan perlu dikaji lebih lanjut oleh publik dan para ahli hukum. Pertanyaan mendasar mengenai batas kewenangan DPR dan konsekuensi revisi tata tertib ini terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia perlu dibahas secara terbuka dan demokratis.
Kesimpulan
Pernyataan Ketua MKMK menunjukkan adanya kekhawatiran serius terhadap revisi tata tertib DPR. Revisi tersebut dinilai berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar hukum ketatanegaraan dan UUD 1945, menimbulkan pertanyaan besar tentang pemahaman DPR terhadap sistem hukum Indonesia, dan berpotensi mengganggu independensi lembaga-lembaga negara.