Sistem Proporsional Terbuka: Perlu Evaluasi, Kata Pakar UI
Peneliti Puskapol UI, Delia Wildianti, menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem proporsional terbuka, termasuk rekrutmen caleg, transparansi data, dan afirmasi gender, guna mengatasi praktik politik uang dan ketidaksetaraan.

Jakarta, 5 Maret 2024 - Sistem Pemilu proporsional terbuka di Indonesia kembali menjadi sorotan. Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Wildianti, menekankan perlunya evaluasi mendalam jika sistem ini tetap dipertahankan. Pernyataan ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).
Delia Wildianti memaparkan sejumlah poin penting yang perlu dievaluasi. Menurutnya, sistem proporsional terbuka, jika tidak dibenahi, berpotensi menimbulkan masalah serius. Evaluasi ini penting untuk memastikan sistem pemilu berjalan efektif, demokratis, dan berkeadilan.
Beliau juga menekankan pentingnya perbaikan sistem untuk menghindari praktik-praktik yang merugikan, seperti politik uang dan ketidaksetaraan gender. Hal ini menjadi perhatian utama mengingat dampaknya terhadap kualitas representasi rakyat di parlemen.
Rekrutmen Caleg dan Transparansi Data
Salah satu poin penting yang dikritik Delia adalah proses rekrutmen calon legislatif (caleg). Ia menyoroti perlunya proses rekrutmen dan kaderisasi yang lebih ketat oleh partai politik. "Kalau misalnya kita tetap di sistem proporsional daftar terbuka, ini perlu ada beberapa yang dievaluasi," ujar Delia. Menurutnya, sistem saat ini rawan terhadap caleg yang hanya memanfaatkan partai politik sebagai 'tiket' menuju kursi parlemen tanpa memiliki komitmen ideologis.
Lebih lanjut, Delia juga menyoroti pentingnya transparansi data caleg. Informasi mengenai caleg harus mudah diakses publik, selama tidak melanggar privasi. "Data yang sifatnya publik, yang harus diketahui oleh masyarakat, itu harus disampaikan karena tujuan dari sistem proporsional terbuka adalah memilih caleg yang akan mewakili pemilihnya," tegasnya. Transparansi ini dinilai krusial untuk mendorong akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam proses pemilu.
Delia menambahkan, "Sehingga tidak ada istilahnya caleg kutu loncat gitu ya, tiba-tiba caleg masuk di dalam partai politik, padahal tidak punya gagasan, tidak punya Ideologi partai, tidak tau mau mengembangkan seperti apa," katanya. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya integritas dan komitmen caleg terhadap partai dan kepentingan rakyat.
Penguatan Afirmasi Keterwakilan Perempuan
Delia juga menyoroti pentingnya penguatan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan di parlemen. Menurutnya, kuota minimum 30 persen saja tidak cukup. "Mau tidak mau, untuk mendorong percepatan akselerasi kesetaraan itu juga perlu dibantu dengan penguatan afirmasi," tuturnya. Ia menyarankan perlunya pasal baru yang memperkuat kebijakan afirmasi perempuan, misalnya dengan sistem 'zipper' yang lebih ketat atau pengaturan nomor urut.
Delia menambahkan bahwa DPR sebagai representasi rakyat seharusnya mampu menghadirkan representasi perempuan yang lebih baik, mengingat perempuan merupakan lebih dari separuh penduduk Indonesia. "Selain kuota 'zipper system' murni, jadi di antara dua (caleg) ada satu perempuan, tapi juga kita bisa mendorong sebetulnya berkaitan dengan ketentuan posisi nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan untuk perempuan," paparnya. Pernyataan ini menekankan pentingnya kesetaraan gender dalam representasi politik.
Lebih lanjut, Delia menjelaskan bahwa sistem proporsional terbuka juga berpotensi memicu praktik politik uang dan persaingan tidak sehat antar partai. "Terjadinya kompetisi intrapartai dan antarpartai yang tidak sehat. Misalnya, pertukaran suara, pemberian suara di internal partai, serta banyaknya terjadi pencurian atau jual beli suara kandidat dan/atau partai politik," ucapnya. Pernyataan ini menunjukkan kompleksitas masalah yang terkait dengan sistem proporsional terbuka.
Kesimpulannya, evaluasi menyeluruh terhadap sistem proporsional terbuka sangat diperlukan. Perbaikan dalam rekrutmen caleg, transparansi data, dan afirmasi gender menjadi kunci untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih demokratis, adil, dan bebas dari praktik-praktik yang merugikan.